|
Kenapa Harus Pemahaman Para Sahabat? |
AlQuranPedia.Org – Wajib bagi setiap muslim untuk menjadikan
Al-Quran dan Hadits Shahih nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai pijakan
dan pedoman. Karena keduanya bersumber dari wahyu Allah Tabaraka Wa Ta’ala. Al-Quran
sudah ma’ruf bahwasannya ianya adalah firman Allah, kebenarannya bersifat
mutlak dan kebenarannya tidak perlu diragukan lagi. Adapun hadits merupakan
perkataan, perbuatan dan taqrir dari nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang
mana itu berasal dari wahyu Allah yang Allah wahyukan kepadanya. Dengan catatan
hadits tersebut shahih dan diterima, tidak bisa hadits dho’if (lemah) apalagi
hadits maudhu’ (palsu).
dan
tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya.
Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya). (Q.S.
An-Najm : 3-4)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga sudah
mengabarkan kepada kita di khutbah-khutbah terakhir beliau, bahwasannya beliau
meninggalkan dua perkara yang mana kalau kita berpegang kepada keduanya maka
kita tidak akan tersesat selama-lamanya, yakni Al-Quran dan Hadits nya
Aku telah
tinggalkan pada kamu dua perkara. Kamu tidak akan sesat selama berpegang kepada
keduanya, (yaitu) Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya. (HR. Malik, Al-Hakim, Al-Baihaqi, Ibnu Nashr, Ibnu Hazm. Hadits
shahih lighairihi. Dishahihkan oleh Syaikh Salim Al-Hilali di dalam At Ta’zhim
wal Minnah fil Intisharis Sunnah, hlm. 12-13)
Tetapi untuk memahami Al-Quran dan Hadits kita tidak bisa
sembarangan. Keduanya harus dipahami sesuai dengan pemahaman para sahabat
radhiyallahu ‘anhum ajma’in. Adapun secara istilah disebut dengan manhaj salaf, yakni metode salaf. Salaf artinya para pendahulu kita, tiga generasi emas umat Islam (Para sahabat,
Tabi’in, dan Tabi’ut Tabi’in), dan salaf yang terutama adalah para sahabat.
Maka dari itu manhaj salaf adalah manhajnya para sahabat. Lalu kenapa harus begitu? Kenapa
harus bermanhaj salaf? Kenapa harus bermanhaj dengan manhajnya sahabat? Kenapa
harus beragama sesuai dengan pemahaman para sahabat? Simak alasan-alasannya
berikut ini.
1. Al-Quran Turun di
Tengah-Tengah Para Sahabat
Seperti yang kita ketahui bersama bahwa para sahabat adalah
mereka yang beriman kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, melihat nabi
secara langsung dan wafat di atas keislaman. Jadi meskipun ada yang sezaman
dengan nabi tetapi tidak pernah melihatnya maka dia tidak dinamakan sahabat
nabi. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskan semua hal kepada
para sahabatnya, baik itu Al-Quran, tafsirnya, tentang ibadah, dan segala
sesuatu. Segala ilmu telah diajarkan nabi kepada para sahabat.
Dari Abu Dzarr Al-Ghifary radhiyallahu 'anhu, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
telah pergi meninggalkan kami (wafat), dan tidaklah seekor burung yang terbang
membalik-balikkan kedua sayapnya di udara melainkan beliau shallallahu ‘alaihi
wa sallam telah menerangkan ilmunya kepada kami.” Berkata Abu Dzarr
radhiyallahu 'anhu, “Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda, ‘Tidaklah tertinggal sesuatu pun
yang mendekatkan ke surga dan menjauhkan dari neraka melainkan telah dijelaskan
semuanya kepada kalian.’” (HR. Thabrani dan Ibnu Hibban)
Jadi, para sahabatlah yang paling mengetahui tafsir
Al-Quran, maknanya, hadits nabi, dan segala ilmu. Tidak ada yang lebih
mengetahui tentang Al-Quran dan Sunnah daripada mereka.
2. Pemahaman Para
Sahabat Mendapatkan Rekomendasi Langsung dari Allah dan Rasul-Nya
Para sahabat mendapatkan sertifikasi dan rekomendasi
langsung dari nabi. Allah Ta’ala pun memberikan rekomendasi langsung untuk para
sahabat.
Orang-orang yang
terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan Muhajirin dan
Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada
mereka dan mereka pun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka
surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya. Mereka kekal di dalamnya,
itulah kemenangan yang besar. (Q.S.
At-Taubah : 100)
Barangsiapa
menentang Rasul setelah jelas baginya kebenaran, dan mengikuti jalan yang
bukan jalannya orang-orang mu’min, Kami biarkan ia berkuasa terhadap
kesesatan dan Kami akan masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu
seburuk-buruk tempat kembali. (Q.S.
An-Nisaa’ : 115)
Dari Al-‘Irbadh bin Sariyyah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Kami
pernah dinasihati oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dengan sebuah
nasiat yang amat mendalam, yang menyebabkan air mata kami berlinang dan hati
kami bergetar, lalu seorang Sahabat bertanya: ‘Ya Rasulullah, seakan-akan ini
sebagai nasihat seseorang yang akan pergi, maka apa pesanmu kepada kami?’
Beliapun bersabda: ‘Aku wasiatkan kepadamu agar bertakwa kepada Allah,
mendengar dan patuh (kepada pimpinan) ,meskipun ia seorang budak dari Habasyah
(Ethiopia), karena sesungguhnya orang yang hidup di antara kamu sesudahkau akan
melihat perselisihan yang banyak, maka
berpegang teguhlah kamu kepada sunnahku dan sunnah para Khulafa’ (pengikutku)
yang mendapat petunjuk, berpegang teguhlah kamu padanya dan gigitlah dengan
geraham-geraham (mu), dan jauhilah hal-hal yang diada-adakan (dalam agama)
karena setiap yang baru itu adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah kesesatan.”
(HR. Abu Dawud dan yang lainnya, dishahihkan oleh Ibnu Majah dan Syaikh
Al-Albani.
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Sesungguhnya
Bani Israil telah berpecah-belah menjadi 72 agama. Dan sesungguhnya umatku akan
berpecah-belah menjadi 73 agama. Mereka semua di dalam neraka, kecuali satu
agama. Mereka bertanya:“Siapakah mereka, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab,“Siapa saja yang mengikutiku dan
(mengikuti) sahabatku.” (HR. Tirmidzi, no. 2565, Al-Hakim, Ibnu
Wadhdhah, dan lainnya; dari Abdullah bin’Amr. Dihasankan oleh Syaikh Salim
Al-Hilali di dalam Nash-hul Ummah, hlm. 24)
Maka dari itu tidak diragukan lagi bahwa mengikuti cara
beragama (manhaj) para sahabat adalah suatu kebenaran, wajib diikuti dan
diamalkan.
3. Para Sahabat
Adalah Generasi Terbaik Umat Ini
Banyak hadits yang menyebutkan bahwa para sahabat
mendapatkan rekomendasi dari Rasulullah langsung, mereka adalah sebaik-baik
generasi umat Islam, sebaik-baik manusia setelah Rasulullah, seujung kuku dari
para sahabat pun kita tidak dapat menyamainya.
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Sebaik-baik
manusia ialah pada generasiku, kemudian generasi berikutnya, kemudian generasi
berikutnya.” (HR. Bukhari, no. 3651, dan Muslim, no. 2533)
Dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘ahnu, beliau berkata,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda,”Janganlah kalian mencela sahabat-sahabatku. Seandainya salah seorang
dari kalian berinfaq emas seperti Gunung Uhud, tidak akan menyamai satu mud
(infaq) salah seorang dari mereka dan tidak pula setengahnya.” (HR.
Bukhari, Muslim, Tirmidzi, Abu Dawud dan lainnya)
4. Banyaknya
Firqoh/Golongan yang Sesat Dikarenakan Tidak Mengikuti Pemahaman Para Sahabat
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengabarkan
bahwa umat Islam terpecah belah menjadi 73 firqoh/golongan, dan hanya 1 yang
selamat. Semua firqoh sesat itu beragama Islam, mereka mengimani Al-Quran dan
Hadits, hanya satu saja yang membuat mereka tersesat. Yakni pemahamannya.
Contohnya seperti kaum Khawarij. Mereka rajin ibadah, rajin baca Al-Quran,
rajin mengikuti sunnah-sunnah nabi, akan tetapi mereka mengkafirkan pemerintah
dikarenakan salah memahami firman Allah “Barangsiapa yang berhukum dengan
selain hukum Allah, maka dia kafir”. Mereka pun menghalalkan darah pemerintah
dan siapa saja yang bersama pemerintah. Itulah yang kita kenal dengan para
teroris. Mereka tidak memahaminya sebagaimana yang dipahami para sahabat. Maka
dari itu mereka tersesat sejauh-jauhnya. Betullah firman Allah:
Dan
barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti
jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami
biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami
masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.
(Q.S. An-Nisaa’ : 115)
Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma pernah berkata kepada kaum
khawarij, “Aku datang
kepada kamu dari sahabat-sahabat Nabi, orang-orang Muhajirin dan Anshar, dan
dari anak paman Nabi dan menantu Beliau (yakni Ali bin Abi Thalib). Al-Quran turun kepada mereka, maka mereka lebih mengetahui tafsirnya
daripada engkau. Sedangkan diantara kalian tidak ada seorangpun (yang termasuk)
dari sahabat Nabi. (HR. Abdurrazaq di dalam Al-Mushonnaf, no. 18678, dan
lain-lain. Lihat Limadza, hlm. 101-102; Munazharat Aimmatis Salaf, hlm. 95-100.
Keduanya karya Syaikh Salim Al Hilali)
Begitu pula firqoh sesat yang lain seperti Qadariyah,
Murji’ah, Mu’tazilah, Jabariyah, Asy‘ariyah, Maturidiyah, dan lain sebagainya.
Ada yang salah memahami takdir, ada yang salah memahami iman, ada yang salah
memahami aqidah terhadap Allah, ada yang salah memahami ayat, ada yang salah
memahami asma dan sifat Allah, dan lain sebagainya. Itu dikarenakan apa? Karena
tidak memahaminya sesuai dengan yang dipahami para sahabat. Maka dari itu
Rasulullah berpesan bahwa solusi dari perpecahan umat adalah “berpegang teguh
kepada sunnahnya dan sunnah para sahabatnya”.
5. Semua Nama Firqoh
Sesat Tidak Terdapat di Dalam Al-Quran dan Hadits
Semua nama firqoh sesat tidak memiliki dalil dari Al-Quran
dan Hadits, seperti Qodariyah, Jabariyah, Mu’tazilah. Tidak pernah kita
mendengar Rasulullah mengatakan bahwa dirinya adalah Qodariyah, Jabariyah,
Murji’ah, bahkan Syi’ah. Akan tetapi Rasulullah menyebut dirinya sebagai
“salaf”. Maka pengikutnya dinamakan sebagai salafi.
Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada anaknya, Fathimah, ”Sesungguhnya sebaik-baik salafmu adalah aku.” (HR. Muslim
[2450/98])
6. Para Ulama Sepakat
Wajibnya Bermanhaj Salaf, Beragama Dengan Mengikuti Pemahaman Para Sahabat
1. Abul ‘Aliyah rahimahullah
Beliau berkata, "Pelajarilah
Islam! Jika engkau mempelajarinya, janganlah kamu membencinya. Hendaklah engkau
meniti shirathal mustaqim (jalan yang lurus), yaitu Islam. Janganlah engkau
belokkan Islam ke kanan atau ke kiri. Dan hendaklah engkau mengikuti Sunnah
Nabimu dan yang dilakukan oleh para sahabatnya. Dan jauhilah hawa nafsu-hawa
nafsu ini (yakni bid’ah-bid’ah) yang menimbulkan permusuhan dan kebencian antar
manusia." (Al Muntaqa Min Syarh Ushulil I’tiqad Ahlis Sunnah Wal
Jama’ah, hlm. 34, no. 5)
2. Muhammad bin Sirin rahimahullah
Beliau berkata, "Orang-orang
dahulu mengatakan, sesungguhnya mereka (berada) di atas jalan (yang lurus)
selama mereka meniti atsar (riwayat Salafush Shalih)." (Al Muntaqa Min
Syarh Ushulil I’tiqad Ahlis Sunnah Wal Jama’ah, hlm. 42, no. 36).
3. Imam Al-Auza’i rahimahullah
Beliau berkata, “Sabarkanlah
dirimu (berada) di atas Sunnah. Berhentilah di tempat orang-orang itu (Ahlus
Sunnah, Salafush Shalih) berhenti. Katakanlah apa yang mereka katakan. Diamlah
apa yang mereka diam. Dan tempuhlah jalan Salaf (para pendahulu)mu yang shalih,
karena sesungguhnya akan melonggarkanmu apa yang telah melonggarkan mereka.” (Al
Muntaqa Min Syarh Ushulil I’tiqad Ahlis Sunnah Wal Jama’ah, hlm. 56; Al Ajuri
di dalam Asy Syari’ah, hlm. 58; Limadza, hlm. 104)
Dalam membantah bid’ah, Imam Al Auza’i rahimahullah juga menyatakan, “Seandainya bid’ah ini baik, pasti tidak
dikhususkan kepada engkau tanpa (didahului) orang-orang sebelummu. Karena
sesungguhnya, tidaklah ada kebaikan apapun yang disimpan untukmu karena
keutamaan yang ada pada kamu tanpa (keutamaan) mereka (Salafus Shalih). Karena
mereka adalah sahabat-sahabat NabiNya, yang Allah telah memilih mereka. Dia mengutus
NabiNya di kalangan mereka. Dan Dia mensifati mereka dengan firmanNya: Muhammad
itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dia adalah keras terhadap
orang-orang kafir, tetapi berkasih-sayang sesama mereka; kamu lihat mereka
ruku’ dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaanNya. [Al Fath: 29]” (Al
Muntaqa Min Syarh Ushulil I’tiqad Ahlis Sunnah Wal Jama’ah, hlm. 56-57)
4. Imam Abu Hanifah rahimahullah
Beliau berkata, "Aku
berpegang kepada Kitab Allah. Kemudian apa yang tidak aku dapati (di dalam
Kitab Allah, maka aku berpegang) kepada Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam. Jika aku tidak dapati di dalam Kitab Allah dan Sunnah Rasulullah,
aku berpegang kepada perkataan-perkataan para sahabat beliau.Aku akan berpegang
kepada perkataan orang yang aku kehendaki. Dan aku tinggalkan perkataan orang
yang aku kehendaki diantara mereka. Dan aku tidak akan keluar dari perkataan
mereka kepada perkataan selain mereka." (Riwayat Ibnu Ma’in dalam
Tarikh-nya, no. 4219. Dinukil dari Manhaj As Salafi ‘Inda Syaikh Nashiruddin Al
Albani, hlm. 36, karya ‘Amr Abdul Mun’im Salim)
5. Imam Malik bin Anas rahimahullah
Imam Ibnul Qoyyim menyatakan, bahwa
Imam Malik rahimahullah berdalil dengan ayat 100, surat At Taubah, tentang
kewajiban mengikuti sahabat. (I’lamul Muwaqqi’in (2/388), karya Ibnul
Qoyyim)
6. Imam Syafi’i rahimahullah
Beliau berkata, “Selama ada
Al-Kitab dan As-Sunnah, maka alasan terputus atas siapa saja yang telah
mendengarnya, kecuali dengan mengikuti keduanya. Jika hal itu tidak ada, kita
kembali kepada perkataan-perkataan para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam, atau salah satu dari mereka." (Riwayat Baihaqi di dalam Al
Madkhal Ilas Sunan Al Kubra, no. 35. Dinukil dari Manhaj As Salafi ‘Inda Syaikh
Nashiruddin Al Albani, hlm. 36 dan Manhaj Imam Asy Syafi’i Fi Itsbatil Aqidah
(1/129), karya Syaikh Dr. Muhammad bin Abdul Wahhab Al ‘Aqil)
7. Imam Ahmad bin Hambal rahimahullah
Beliau berkata, "Pokok-pokok
Sunnah menurut kami adalah: berpegang kepada apa yang para sahabat Rasulullah n
berada di atasnya, meneladani mereka, meninggalkan seluruh bid’ah. Dan seluruh
bid’ah merupakan kesesatan …" (Riwayat Al Lalikai; Al Muntaqa Min
Syarh Ushulil I’tiqad Ahlis Sunnah Wal Jama’ah, hlm. 57-58).
Jadi demikianlah pembahasan kita mengenai wajibnya kita bermanhaj salaf, menjadi
salafiyyin, yakni menjadi pengikutnya Rasulullah dan para sahabat, beragama
dengan pemahamannya para sahabatnya. Semoga
tulisan ini menambah wawasan dan menjadi petunjuk bagi kita semua.
Semoga bermanfaat.
Diselesaikan pada 14 Shafar 1440 Hijriyah/24 Oktober 2018
Masehi.