Arogansi Yang Mendatangkan Petaka |
Ibnul-Qayyim mengutip dari al-Zuhd, karya Imam Ahmad:
عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ سِيرِينَ: أَنَّهُ لَمَّا رَكِبَهُ الدَّيْنُ اغْتَمَّ لِذَلِكَ، فَقَالَ: إِنِّي لَأَعْرِفُ هَذَا الْغَمَّ بِذَنْبٍ أَصَبْتُهُ مُنْذُ أَرْبَعِينَ سَنَةً
“Diriwayatkan dari Muhammad bin Sirin, bahwa beliau pernah terjerat hutang yang menggelisahkan beliau. Maka beliau berkata, ‘Sungguh, saya tahu bahwa musibah ini disebabkan dosa yang saya lakukan empat puluh tahun lalu.’”
Ibnul-Qayyim kemudian berkomentar, “Demikianlah, terkadang efek dosa tidak menimpa secara langsung.” [Ref.: al-Da` wad-Dawa`, hlm. 53.]
Dosa yang dimaksud oleh Ibn Sirin adalah beliau pernah merendahkan seseorang dengan berkata, “Hai, bangkrut!”
(Baca Juga : Poin Penting Dalam Berdakwah)
Ibnul-Jauzy berkata,
ومما ينبغي للعاقل أن يترصده وقوع الجزاء، فإن ابن سيرين قال: عيرت رجلًا فقلت: يا مفلس! فأفلست بعد أربعين سنةً
“Termasuk yang harus diwaspadai oleh orang bijak adalah terkena hukuman (sesuai jenis perbuatannya). Ibn Sirin pernah bertutur, ‘Saya pernah merendahkan seseorang dengan berkata, ‘Hai bangkrut,’ maka saya pun mengalami kebangkrutan setelah empat puluh tahun dari peristiwa tersebut.’” [Ref.: Shaidul-Khathir, hlm. 39.]
Imam al-Dzahaby juga menyebutkan secara lebih detail tentang kisah Ibn Sirin tersebut. Beliau juga mengisahkan bahwa ketika Abu Sulaiman al-Darany mendengar tentang hal itu, beliau berkomentar,
قَلَّتْ ذُنُوْبُ القَوْمِ، فَعَرَفُوا مِنْ أَيْنَ أُتُوا، وَكَثُرَتْ ذُنُوْبُنَا، فَلَمْ نَدْرِ مِنْ أَيْنَ نُؤْتَى
“Dosa kaum Salaf tersebut sangatlah sedikit. Karena itulah mereka bisa mengetahui dosa mana yang menyebabkan musibah yang mereka alami. Sementara dosa kita sangatlah banyak, sehingga kita tidak tahu musibah yang kita alami itu disebabkan dari dosa yang mana.” [Ref.: Siyar A’lam al-Nubala`, vol. IV, hlm. 616.]
* * * * *
Ada kisah lain yang senada dengan itu. Sepasang suami istri hidup cukup mapan secara finansial. Pada suatu waktu, keduanya tengah bersiap menikmati hidangan ayam panggang di meja makan, ketika tiba-tiba pintu rumah mereka diketuk oleh seorang pengemis. Sang istri sebenarnya ingin memberinya makanan, namun suaminya malah kemudian menghardik dan mengusir pengemis itu.
Beberapa waktu kemudian, usaha si suami mengalami kebangkrutan. Kekayaannya sirna. Selain itu, karena perangai yang buruk, ia juga bercerai dengan istrinya. Sang wanita kemudian menikah lagi dengan seorang pria yang baik perangainya lagi hidup berkecukupan.
Suatu ketika, wanita itu tengah bersiap menikmati hidangan ayam panggang di meja makan bersama suami barunya. Tiba-tiba pintu rumahnya diketuk oleh seorang pengemis.
Sang suami lalu berkata kepada istrinya,
ادفعي إليه هذه الدجاجة
“Tolong berikan makanan kita kepadanya.”
Istrinya pun melaksanakannya.
Namun ketika kembali, ia menangis tersedu-sedu.
“Apa yang membuatmu menangis?” tanya suaminya.
“Pengemis tadi ternyata adalah mantan suamiku. Dahulu, kami juga pernah didatangi oleh pengemis ketika tengah menikmati hidangan seperti ini, lalu ia menghardik dan mengusir pengemis tersebut. Ternyata sekarang justru ia yang menjadi pengemis.”
Suaminya berkata lembut, “Tahukah engkau, pengemis yang dulu diusirnya itu adalah aku.”
[Ref.: al-Mustathraf fi Kull Fann Mustazhraf, vol. I, hlm. 27.]
(Baca Juga : Tawakkal Dengan Rezeki Allah)
* * * * *
Demikianlah, roda dunia berputar silih berganti. Kadang seseorang berada di atas dan kadang pula di bawah. Di samping itu, kisah-kisah nyata bahwa seseorang terkena dampak buruk yang selaras dengan arogansi dan ucapannya itu banyak jumlahnya dan bahkan bisa kita dapati di sekitar kita. Bahkan, bisa jadi sebagian kita pun pernah mengalaminya secara langsung.
Oleh karenanya, jika kita ditimpa musibah dan berbagai masalah, misalnya dalam hal finansial, karir, atau jodoh (seperti jodoh yang tak kunjung datang atau mendapatkan jodoh yang buruk akhlaknya), maka kita perlu introspeksi, bisa jadi itu merupakan dampak arogansi, perendahan dan kezaliman kita terhadap orang lain.
Itulah sanksi di dunia. Adapun di akhirat, maka ancaman hukumannya jauh lebih mengerikan. Nabi (shallallahu ‘alaihi wa sallam) bersabda dalam hadisnya yang valid dan populer,
لا يدخل الجنة من كان في قلبه مثقال ذرة من كبر قال رجل إن الرجل يحب أن يكون ثوبه حسنا ونعله حسنة قال إن الله جميل يحب الجمال الكبر بطر الحق وغمط الناس
“Tidak akan masuk surga seorang yang dalam hatinya terdapat sebutir zarah dari kesombongan.” Para Sahabat berkata, “Ya Rasulullah, sesungguhnya seseorang itu senang apabila baju dan sendalnya bagus.” Nabi menjawab, “Allah itu indah dan menyukai keindahan. Yang dimaksud dengan kesombongan itu adalah menolak kebenaran dan merendahkan sesama manusia.” [HR Muslim no. 147, dan lain-lain]
Solusi agar terselamatkan dari sanksi di dunia dan akhirat adalah dengan tobat dari kesalahan. Demikianlah yang dilakukan antara lain oleh Nabi Yunus ketika ditimpa musibah, yaitu dimakan oleh ikan raksasa, dan kemudian Allah Ta’ala pun menyelamatkan beliau. Allah Ta’ala berfirman,
فَنَادَى فِي الظُّلُمَاتِ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ سُبْحَانَكَ إِنِّي كُنْتُ مِنَ الظَّالِمِينَ
“Maka Yunus pun menyeru dalam keadaan yang sangat gelap bahwa ‘Tidak ada Tuhan selain Engkau. Maha Suci Engkau, sesungguhnya aku adalah termasuk orang-orang yang zalim.’” [QS al-Anbiya`/21: 87]
Demikian, Allahu a'lam. Semoga tulisan ini bermanfaat bagi pembaca, juga terutama bagi penulisnya, agar lebih mampu menghindari kesalahan dimaksud.
07/06/2021
(Baca Juga : 20 Ayat Al-Quran Tentang Jihad)
Tulisan Al-Ustadz Adni Kurniawan hafidzhahullah
Sumber : https://www.facebook.com/story.php?story_fbid=10220205023577659&id=1289158161
EmoticonEmoticon