Udzur Bagi Da'i |
Kecuali sekali saat itu, kami sedang letih, maka terima tawaran tersebut. Khawatir oleng naik motor.
(Baca Juga : Benarkah Allah Tertawa?)
Kendatipun begitu, sama sekali saya pribadi tidak pernah berburuk sangka pada pemateri yang minta dijemput. Ada dai alim dan masyhur yang relatif bagi kami kediamannya tak begitu jauh dari lokasi, tapi selalu minta dijemput panitia. Tapi karena saya tahu, betapa tidak ringan kondisi fisik jika padat jadwal, maka selalu saya husnuzhan. Ditambah faktor U.
Jika Anda mendapatkan dai berusia tua rela naik motor jauh ke kajian, maka saran saya jangan bersangka negatif pada yang muda naik mobil. Setiap mereka mungkin beda kondisinya. Tidak mesti yang naik motor atau angkot berarti zuhud, dan tidak mesti yang naik mobil berarti sok tajir atau manja.
Saya pernah berguru pada seorang ustadz yang tidak pernah ke taklim kecuali naik Kopaja atau Metromini. Suatu saat, saya duduk di samping guru saya inu, sembari bertanya kenapa beliau tidak naik motor atau mobil pribadi. Tak disangka, rupanya beliau memiliki kekurangan di mata. Jika mengendarai motor atau menyetir mobil, matanya tidak bisa fokus. Bahkan kata beliau, jika bermotor, matanya seperti mau keluar dari tempatnya. Para dokter melarang itu.
Ada pula sebagian dai memilik asisten yang mengatur jadwal. Saya kerap menerima keluhan sebagian panitia atau DKM untuk kajian yang tidak akbar, yang intinya: sulit undang beliau-beliau ini. Maka saya katakan bahwa belum tentu itu memang dai nya yang pilah pilih. Besar kemungkinan itu keputusan asisten pengatur jadwal.
Saya pribadi, tak ada asisten. Team saya atur, tidak sebaliknya. Tapi kendatipun begitu, siapapun Pemateri atau tokoh yang diatur jadwalnya oleh asisten tidak saya katakan macam-macam. Kenapa?
Karena padatnya jadwal mengajar, urusan keluarga dan ini itu, bukan hal yang semua orang bisa menatanya sendirian. Sehingga butuh asisten.
Mungkin dulu, saya (atau mungkin juga Anda) kadang suka jelek persangkaannya karena melihat kehidupan, gaya hidup dan cara berkomunikasi dai tertentu setelah melihat sekilas. Lalu menyimpulkan di hati bahwa beliau begini begitu. Padahal bisa jadi ada alasan yang jika kita berada di posisinya, boleh jadi kita lebih dari beliau itu.
(Baca Juga : Lulusan Universitas Al-Azhar Mesir)
Ada dai yang hobi motoran, lalu punya motor yang masya Allah. Kalau hobi, selama mubah, maka beliau memiliki porsi di dunia tersebut. Ada yang kemana-mana memakai motor cowok, sementara kita hanya memakai mocil, ringsek pula. Lalu kita simpulkan dai ini begini begitu secara negatif. Kesimpulan yang biasa terbit dari sikap menjadikan hidup kita, harta kita dan kemampuan kita standar untuk orang lain. Kalau kita miskin, maka orang yang kaya kita tuding. Kalau kita berkecukupan, kita anggap yang kaya itu sombong yang miskin itu culas. Kalau kita kaya, kita anggap yang miskin semuanya culas maka terima nasib.
Ada dai yang hobi sepedaan, sampai di rumah beliau ada beragam sepeda. Jika kita hitung semua harganya, wah itu bisa senilai gaji UMR 2 tahun alias 24 bulan! Saya pernah terima 'komplain' dari jemaah soal ini. Maka saya katakan, beliau ini punya hobi di dunia tersebut dan memang punya dana untuk itu.
Selama hobi itu mubah, sesuai dengan koceknya, maka kita yang belum mampu ke sana, sebaiknya kubur persangkaan jelek itu. Syukur dengan hobi mereka di salah satu urusan dunia, mereka masih hobi mengajar juga. Coba kita bercermin lebih detail lagi:
Jika kita memiliki harta dan hobi salah satu urusan dunia mubah, apa kita sebaik beliau-beliau ini? Sangat mungkin justru tidak. Mungkin kita akan luoa daratan. Kita akan sibuk di ikan cupang, sibuk di touring, sibuk di dagang/bisnis, sibuk di tambak atau area pemancingan, dan lupa kajian. Dulu rajin saat kere, kini mager saat tajir. Sangat mungkin kita begitu nantinya. Apalah lagi mau rela datang ke masjid atau sekolahan untuk mengajari orang, yang banyak tidurnya?!
Apalagi Jabodetabek, dengan penat dan padatnya jalanan. Kadang seseorang butuh - setelah dzikir - menuntaskan hobi duniawinya. Ada yang hobi berkebun, memelihara tanaman bonsai dan semisal itu. Demi menurunkan kadar efek penat, dia beli tanah luas demi menikmati itu. Lalu kita yang masih ngontrak dan beberapa kali diusir karena nunggak, kita jelekkan si tajir itu. Sombong, kata kita.
Padahal boleh jadi rasa itu hadir karena kita mengharapkan serpihan dunia dari si tajir, alias: "Perhatikan saya! Berikan saya sesuatu!" Jika tidak, berarti kamu sombong. Padahal si tajir tidak tahu apapun soal diri kita.
Iya.
Jika kita menakar hidup seseorang dari keduniaan, sembari menjadikan diri kita role model dan standar kebenaran hidup, kita akan hidup dengan bertemakan suuzhan setiap waktu. Jika melihat yang tajir begitu sombong, tapi melihat yang ekonominya di bawah kita, kita pun tak begitu peduli.
(Baca Juga : 16 Ayat Al-Quran Tentang Tata Surya)
Ingatlah, teman-teman, hidup dengan suuzhan itu lebih sempit dari hidup di penjara. Karena penjara itu masih ada space untuk bergerak. Sementara suuzhan itu hanya menyisakan ruangan sesempit hati kita yang kecil dan sempit ini.
Tulisan Al-Ustadz Hasan Al-Jaizy, Lc hafidzhahullah
Sumber : https://www.facebook.com/story.php?story_fbid=2876607149047318&id=100000941826369
EmoticonEmoticon