Hargai Guru dan Majelis Ilmu Terdekat |
Sebagian, yang baru mencium satu atau dua kitab berbahasa Arab, merasa tak perlu lagi siapapun mengarahkannya. Kini sudah ada media sosial. Kini sudah bisa 'mandiri' dan memiliki point of view tentang manhaj dirasah versi sendiri.
(Baca Juga : 16 Ayat Al-Quran Tentang Kebun)
Ketahuilah, kami telah melihat beberapa penuntut ilmu semisal di atas gelagatnya, yang pada akhirnya: menjauh dari kami dan berani berkata secara lisanul hal:
"Antum rijal wa nahnu rijal"
Artinya: "Pak Guru, kami sudah ga butuh antum lagi. Kami sudah besar."
Sekiranya adik-adik kita ini sudah mahir ilmu alat dan dewasa pengalaman menuntut ilmunya, kalimat di atas pun tak pantas ada. Sikap di atas pun tak beradab.
Terlebih jika rupanya tak mahir apapun melainkan terperdaya oleh semangat dan arogansi masa muda.
Ah, seolah yang menulis ini sudah tua.
Tapi kami mengenal semangat dan arogansi masa muda. Kami mendapatkan keduanya pada diri kami dahulu dan kami dapatkan pada diri beberapa pemuda yang kami pernah kenal. Tanpa sadar, semangatnya mengorbitkan arogansi halus.
(Baca Juga : 5 Ayat Al-Quran Tentang Ular)
Kami pernah dicerca oleh murid sendiri di medsos, di depan ramai, di depan murid lainnya. Semua berawal dari semangat dan ingin explore sana sini. Perlahan meremehkan pihak yang dahulu mengelus kala kebingungan. Baru sejenak balita ini merangkak, sudahlah lisannya menyakiti. Kata orang Barat: "Bite the hand that feeds". Padahal, biarpun misal guru telah keriput renta dan murid lugu ini sudah jadi jendral, masih mestilah hormat dan terima kasihnya tertanda.
Begitulah memang, balada belajar, cari yang jauh abaikan yang dekat.
Mereka yang kini istiqamah dakwah, dahulu kala belajar, adalah yang berusaha hargai guru terdekat. Juga tentu mengamalkan ilmu yang diberi. Warisan guru adalah ilmu. Dan warisan ilmu adalah amal. Namun, jika krama tak dijaga, bagaimana tidak resah ia beramal?! Bagaimana tidak gusar ia berilmu?!
Ada tentu di sana entah di sana mana, yang sudah capek berletih kemana-mana menuntut ilmu, namun kini rasanya seperti mendulang pasir dan debu. Yang tersisa hanya ampas ilmu. Secara perjuangan, harusnya kini sudah memegang mikrofon. Tapi kenapa hanya begini?! Sampai sadari bahwa arogansi tidak memberikan apa, kecuali fatamorgana. Berusaha menjadi apa-apa, namun akhirnya bukan apa-apa dan bukan siapa-siapanya siapa.
Saya pernah terjatuh. Maka saya senang mengingatkan pada pembaca bahwa daerah itu bisa membuatmu terjatuh. Semampu saya.
(Baca Juga : Hukum Bercanda "Prank")
Tulisan Al-Ustadz Hasan Al-Jaizy, Lc hafidzhahullah
Sumber: https://www.facebook.com/story.php?story_fbid=2795783660463001&id=100000941826369
EmoticonEmoticon