Siapapun Presidennya, Inilah Prinsipnya |
Abu Ubaidah As Sidawi
Saudaraku tercinta....
Saat ini rakyat Indonesia sedang menantikan keputusan Mahkamah Konstitusi yang akan memutuskan siapakah yang pantas untuk memimpin negeri ini lima tahun ke depan.
(Baca Juga : Tanda Kuatnya Tauhid Seseorang)
Tentu, semua kita sepakat agar keputusan tersebut adalah adil dan terbaik karena memang negara ini butuh kepada pemimpin terbaik untuk menjaga agama dan mengatur roda negara.
Namun, satu hal yang harus kita ingat bahwa siapapun kelak yang diputuskan sebagai Presiden dan wakil Presiden negeri ini, maka kewajiban kita sebagai rakyat adalah mendengar dan taat selama bukan dalam hal maksiat demi terjaganya stabilitas negara.
Yakinlah, apapun keputusannya dan siapapun pemenangnya, pasti ada hikmah Allah di balik itu semua, karena akal manusia terbatas sedangkan Allah Maha Mengetahui apa yang terbaik untuk kita.
Kita harus mengedepankan kemaslahatan umum daripada kemaslahatan pribadi & kelompok. Kita harus mengedepankan nash-nash syariat daripada hawa nafsu dan akal.
Inilah prinsip yang harus dipegang oleh setiap kita yang menginginkan kebaikan dunia dan akherat. Ibnu Umar berkata:
نحن مع من غلب
“Kami bersama orang yang menang dan berkuasa.” (al-Ahkam as-Sulthaniyyah, al-Farra’, hlm. 23)
Tentu saja ucapan Sahabat Ibnu Umar sebagai murid sekolah Nabi ini terambil dari wasiat-wasiat Nabi yang mutawatir yang menekankan mendengar dan taat kepada pemimpin serta tidak memberontak mereka walaupun mereka tak sesuai seperti harapan kita. Rasulullah juga bersabda:
عَلىَ الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ فِيْمَا أَحَبَّ وَكَرِهَ إِلاَّ أَنْ يُؤْمَرَ بِمَعْصِيَةٍ فَإِنْ أَمَرَ بِمَعْصِيَةٍ فَلاَ سَمْعَ وَلاَ طَاعَةَ
"Wajib bagi seorang muslim untuk mendengar dan taat (kepada penguasa) dalam perkara yang ia senangi dan ia benci kecuali apabila diperintah kemaksiatan. Apabila diperintah kemaksiatan maka tidak perlu mendengar dan taat". (HR. Bukhari 13/121, Muslim 3/1469).
(Baca Juga : Ukuran di Masa Nabi)
Al-Hafizh Ibnu Hajar mengatakan, "Hadits ini menunjukkan wajibnya taat kepada penguasa, hal itu berlaku dalam perkara yang bukan maksiat. Hikmahnya taat kepada penguasa adalah agar menjaga persatuan kalimat, karena yang namanya perpecahan adalah kehancuran". (Fathul Bari 13/112).
Syaikh Ibnu Utsaimin berkata: Perintah pemerintah terbagi menjadi tiga macam:
1. Perintah yang sesuai dengan perintah Allah seperti sholat fardhu, maka wajib mentaatinya.
2. Perintah yang maksiat kepada Allah seperti cukur jenggot, maka tidak boleh mentaatinya.
3. Perintah yang bukan perintah Allah dan bukan juga maksiat kepada Allah seperti undang-undang lalu lintas, undang-undang pernikahan dan sebagainya yang tidak bertentangan dengan syari'at, maka majib ditaati juga, bila tidak mentaatinya maka dia berdosa dan berhak mendapatkan hukuman setimpal.
Adapun anggapan bahwa tidak ada ketaatan kepada pemimpin kecuali apabila sesuai dengan perintah Allah saja, sedangkan peraturan-peraturan yang tidak ada dalam perintah syari'at maka tidak wajib mentaatinya, maka ini adalah pemikiran yang bathil dan bertentangan dengan Al-Qur'an dan Sunnah. (Syarh Riyadhus Sholihin 3/652-656).
Wajibnya taat kepada penguasa bersifat umum, sama saja kepada penguasa yang baik atau yang zhalim, selama perintah mereka bukan kemaksiatan.
Wajib taat kepada penguasa selama mereka masih muslim, mengerjakan shalat, tidak boleh berontak sampai jelas kekafirannya dengan syarat-syarat yang ketat.
Inilah keyakinan ahlus sunnah wal jama'ah dari zaman ke zaman, mereka mendahulukan nas-nash syar`i bukan hawa nafsu.
Hal ini bertolak belakang dengan keyakinan sebagian kelompok islam yang membolehkan berontak apabila melihat penguasa yang zhalim!!, atau kelompok yang terlalu menganggap suci penguasa hingga maksum dan tidak perlu dinasehati!!. Allohu Musta'an.
Para ulama telah bersepakat tentang prinsip ini tanpa ada perselisihan di antara mereka. Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata:
قد أجمع الفقهاء على وجوب طاعة السلطان المتغلب والجهاد معه وأن طاعته خير من الخروج عليه لما في ذلك من حقن الدماء وتسكين الدهماء
“Para fuqaha telah sepakat atas wajibnya menaati penguasa yang menguasai keadaan dan berjihad bersamanya, dan bahwasanya ketaatan kepadanya lebih baik daripada memberontak kepadanya karena di dalam ketaatan tersebut akan menjaga tertumpahnya darah dan menenangkan keadaan.” (Fathul Bari 13/7)
(Baca Juga : Al-'Imran Atau Ali 'Imran?)
Tetap banyaklah berdoa dan jangan pernah menyerah atau putus asa, semoga Allah menganugerahkan kepada kita pemimpin yang terbaik, yang peduli kepada Islam dan kaum muslimin, yang amanah dan menegakkan keadilan dan mampu menjaga persatuan.
Selasa, 25 Juni 2019
Tulisan Al-Ustadz Abu Ubaidah Yusuf As-Sidawi hafidzhahullah
Sumber: https://www.facebook.com/story.php?story_fbid=608396269564024&id=100011809698436
EmoticonEmoticon