Belajar Dewasa Menyikapi Hukum Nyoblos dalam Pemilu |
Hiruk pikuk fitnah politik merambah kepada para penuntut ilmu, sehingga debat kusir dan pro kontra menjelang pemilu sering terjadi tak terelakkan.
Tulisan ini bukan untuk menguatkan salah satu pendapat karena itu relatif bagi masing-masing orang sesuai dengan kadar akalnya, hanya saja kami ingin menyampaikan permasalahan dan nasehat agar kita lebih dewasa dalam menyikapi perbedaan pendapat di kalangan para ulama dan ustadz dalam masalah ini.
(Baca Juga : Kenapa Harus Pemahaman Para Sahabat)
1. Sesungguhnya sistem demokrasi bertentangan dengan hukum Islam, karena:
a. Hukum dan undang-undang adalah hak mutlak Allah عزوجل. Manusia boleh membuat peraturan dan undang-undang selama tidak bertentangan dengan Al-Qur’an dan as-Sunnah.
b. Demokrasi dibangun di atas partai politik yang merupakan sumber perpecahan dan permusuhan, sangat bertentangan dengan agama Islam yang menganjurkan persatuan dan melarang perpecahan.
c. Sistem demokrasi memiliki kebebasan yang seluas-luasnya tanpa kendali dan melampui batas dari jalur agama Islam.
d. Sistem demokrasi, standarnya adalah suara dan asiprasi mayoritas rakyat, bukan standarnya kebenaran Al-Qur’an dan as-Sunnah sekalipun minoritas.
e. Sistem demokrasi menyetarakan antara pria dan wanita, orang alim dan jahil, orang baik dan fasik, muslim dan kafir, padahal tentu tidak sama hukumnya. (Lihat risalah Al 'Adlu fi Syariah Laa fii Dimaqrutiyyah Al Maz'umah karya Syaikhuna Abdul Muhsin Al-Abbad)
2. Namun karena di kebanyakan negeri Islam saat ini –termasuk Indonesia- menggunakan sistem demokrasi yang kepemimpinan negeri ditentukan melalui pemilu, maka dalam kondisi seperti ini apakah kita ikut mencoblos ataukah tidak?
Masalah ini diperselisihkan para ulama yang mu’tabar tentang boleh tidaknya, karena mempertimbangkan kaidah maslahat dan mafsadat:
A. Sebagian ulama berpendapat tidak boleh berpartisipasi secara mutlak seperti pendapat mayoritas ulama Yaman karena itu sistem yang menyelisihi Islam, tidak ada maslahatnya bahkan ada madharatnya. (Lihat Tanwir Dzulumat Syeikh Muhammad Al Imam)
B. Sebagian ulama lainnya berpendapat boleh untuk menempuh madharat yang lebih ringan seperti pendapat Syaikh Abdul Aziz bin Baz, Syeikh Al Albani, Syaikh Ibnu Utsaimin dan lain-lain banyak sekali. (Lihat Al Intikhobat wa Ahkamuha kry Dr. Fahd Al 'Ajlani) karena “Apa yang tidak bisa didapatkan seluruhnya maka jangan ditinggalkan sebagiannya” dan “rabun itu lebih baik daripada buta”.
(Baca Juga : Inilah Pekerjaan Para Nabi Allah)
Intinya, para ulama berbeda pandangan dalam masalah ini antara melarang secara mutlak dan membolehkan dg pertimbangan maslahat dan mafsadat. Lah, kalau ulama saja beda pendapat, apa mungkin kita paksa semua orang satu pendapat dengan kita?!
Maka seyogyanya bagi kita semua untuk bersikap arif dan bijaksana serta berlapang dada dalam menyikapinya. Marilah kita menjaga ukhuwwah islamiyyah (persaudaraan sesama Islam) dan menghindari segala perpecahan, perselisihan serta percekcokan karena masalah ijtihadiyyah seperti ini.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah juga pernah mengatakan:
وَأَمَّا الِاخْتِلَافُ فِي ” الْأَحْكَامِ ” فَأَكْثَرُ مِنْ أَنْ يَنْضَبِطَ وَلَوْ كَانَ كُلَّمَا اخْتَلَفَ مُسْلِمَانِ فِي شَيْءٍ تَهَاجَرَا لَمْ يَبْقَ بَيْنَ الْمُسْلِمِينَ عِصْمَةٌ وَلَا أُخُوَّةٌ وَلَقَدْ كَانَ أَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا سَيِّدَا الْمُسْلِمِينَ يَتَنَازَعَانِ فِي أَشْيَاءَ لَا يَقْصِدَانِ إلَّا الْخَيْرَ
“Adapun perselisihan dalam masalah hukum maka banyak sekali jumlahnya. Seandainya setiap dua orang muslim yang berbeda pendapat dalam suatu masalah harus saling bermusuhan, maka tidak akan ada persaudaraan pada setiap muslim. Abu Bakar Radhiyallahu ‘anhu dan Umar Radhiyallahu ‘anhu saja—kedua orang yang paling mulia setelah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam—mereka berdua berbeda pendapat dalam beberapa masalah, tetapi keduanya tidak menginginkan kecuali kebaikan.” (Majmu Fatawa 5/408)
3. Bagi siapa yang memilih karena mempertimbangkan kaidah: يُخْتَارُ أَهْوَنُ الشَّرَّيْنِ “Menempuh mafsadat yang lebih ringan.” maka:
- Hendaknya bertaqwa kepada Allah عزوجل dengan memilih pemimpin yang lebih mendekati kepada kriteria pemimpin yang ideal dalam Islam yaitu:
1. Memiliki agama yang bagus dan diharapkan mampu membela Islam dan memberikan kemudahan untuk dakwah sunnah.
2. Memiliki kemampuan dalam mengatur negara, menjaga stabilitas negara, dan persatuan umat.
3. Perlu menjadi pertimbangan juga orang atau partai di sekitarnya karena tentu saja mereka memiliki pengaruh besar bagi calon pemimpin.
Dan yang lebih penting dari masalah ini adalah mari kita sibukkan diri kita dengan memperbanyak ibadah dan doa kepada Allah, karena nasib negara ini bukan di tangan makhluk, tetapi di tangan Allah.
Tinggalkan debat kusir masalah ini yang hanya akan mengeraskan hati kita dan tidak akan menyelesaikan masalah serta membuang waktu dan tenaga kita sia-sia. Kalau memang mau diskusi, diskusilah dengan ilmiah dan adab mulia dg tetap menjaga persaudaraan di antara kita.
Alangkah bagusnya nasihat Syaikh Ibnu ‘Utsaimin:
“Hendaknya bagi para penuntut ilmu khususnya dan semua manusia umumnya untuk berusaha menuju persatuan semampu mungkin, karena bidikan utama orang-orang fāsiq dan kāfir adalah bagaimana orang-orang baik berselisih di antara mereka, sebab tidak ada senjata yang lebih ampuh daripada (adu domba agar timbul) perselisihan.” (Syarhul Mumti' 4/63)
(Baca Juga : 16 Ayat Al-Quran Tentang Tata Surya)
Hati-hatilah dalam berbicara dan menulis kata-kata, karena semua kita akan berdiri di hadapan Allah mempertanggungjawabkan perbuatan kita.
Semoga Allah menjaga hati kita, ukhuwwah kita dan adab kita.
Tulisan Al-Ustadz Abu Ubaidah Yusuf As-Sidawi hafidzhahullah
Sumber: https://www.facebook.com/story.php?story_fbid=558296481240670&id=100011809698436
EmoticonEmoticon