Syubhat Bilal bin Rabah Berbuat Bid’ah |
AlQuranPedia.Org – Ada satu syubhat yang coba dilontarkan
oleh sebagian orang bahwa, “Bilal bin Rabah itu berbuat bid’ah, dia setiap
selesai wudhu’ dia selalu sholat”. Itulah kira-kira yang diucapkan sebagian
orang tadi demi melegalkan bid’ah hasanah (bid’ah yang baik). Mereka berdalih
dengan hadits berikut.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, beliau berkata, “Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam
bersabda kepada Bilal bin Rabah setelah menunaikan shalat Subuh, ‘Wahai Bilal,
beritahukanlah kepadaku tentang perbuatan-perbuatanmu yang paling engkau
harapkan manfaatnya dalam Islam! Karena sesungguhnya tadi malam aku mendengar
suara terompahmu di depanku di surga.’ Bilal radhiyallahu 'anhu menjawab,
‘Tidak ada satu perbuatan pun yang pernah aku lakukan, yang lebih kuharapkan
manfaatnya dalam Islam dibandingkan dengan (harapanku terhadap) perbuatanku
yang senantiasa melakukan shalat (sunat) yang mampu aku lakukan setiap
selesai bersuci dengan sempurna di waktu siang ataupun malam.’” (HR.
Muslim)
Lantas bagaimana kita menjawab syubhat ini?
Pertama, kami
katakan sekali lagi bahwa semua bid’ah adalah sesat. Dan ini bukan kami
yang katakan, bukanlah ulama yang mengatakan, tetapi Rasul sendiri yang
berkata.
“Amma ba’du. Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah kitabullah dan
sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Sejelek-jelek perkara adalah (perkara agama) yang diada-adakan, setiap (perkara
agama) yang diada-adakan itu adalah bid’ah, setiap bid’ah adalah kesesatan.” (HR. Muslim no. 867)
Dan hal itu diperkuat lagi dengan ucapan seorang sahabat
mulia, yakni Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma.
“Setiap bid’ah adalah sesat,
walaupun manusia menganggapnya baik.” (Lihat Al-Banah Al-Kubro li Ibni
Baththoh, 1/219, Asy-Syamilah)
Jadi meskipun ada yang menganggap ada bid’ah hasanah, maka
ini batil.
Kedua, amalan
sholat sunnah setelah wudhu’ bukanlah bid’ah, karena Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam menyebutkan amal tersebut.
Dari Humran bekas budak ‘Utsman bin ‘Affan radhiyallahu 'anhu, dia
berkata, “‘Utsman bin ‘Affan radhiyallahu 'anhu minta diambilkan air wudhu
lalu berwudhu. Dia basuh kedua telapak tangannya tiga kali. Kemudian
berkumur-kumur dan menghirup air ke hidung lalu mengeluarkannya. Lalu membasuh
wajahnya tiga kali, kemudian membasuh tangan kanannya hingga ke siku tiga kali,
begitupula dengan tangan kirinya. Setelah itu, ia usap kepalanya lantas
membasuh kaki kanannya hingga ke mata kaki tiga kali, begitupula dengan kaki kirinya.
Dia kemudian berkata, ‘Aku pernah melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam berwudhu sebagaimana wudhuku ini, kemudian Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, ‘Barangsiapa
berwudhu seperti wudhuku ini, kemudian shalat dua raka’at dan tidak
berkata-kata dalam hati dalam kedua raka’at tadi, maka diampunilah dosa-dosanya
yang telah lalu.’” (HR. Bukhari, Muslim dan lainnya)
Ketiga,
katakanlah Rasulullah tidak pernah mengerjakannya dan menganjurkannya (meskipun
ini tidak tepat), akan tetapi setiap perbuatan yang mendapat persetujuan dari
nabi ini sah menjadi syari’at, itulah yang kita kenal dengan sunnah taqririyah,
yakni sunnah yang mendapatkan persetujuan dan pembenaran dari nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam. Rasul tidak melarangnya dan membolehkannya. Hal ini pun harus
kita rincikan maksud dari nabi tersebut.
Pertama: Sholat sunnah wudhu itu memang ada perintah
dari Nabi sehingga Bilal mengerjakannya rutin kemudian mendapatkan keutamaan
suara terompahnya di surga
Kedua: Hal tersebut tidak ada dalil sebelumnya namun
menjadi hujjah karena taqririyah dari nabi. Dikarenakan nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam tidak mengomentari amal Bilal dan tidak melarangnya.
Pembiaran dari nabi, diamnya nabi, sudah menjadi ma’ruf di kalangan ulama bahwa
itu menunjukkan bolehnya sesuatu hal tersebut.
Keempat, Karena
hal itu adalah sunnah taqririyah, diizinkan oleh nabi, maka ini bisa diamalkan.
Terlebih lagi memang sholat sunnah wudhu’ ini betul-betul ada dalilnya
sebagaimana hadits ‘Utsman mempraktekkan wudhu nabi. Lantas kalau sunnah
taqririyah dijadikan dalih adanya bid’ah hasanah, maka siapa yang menjamin
kita? Kalau Bilal bin Rabah jelas yang menjamin amal tersebut adalah
Rasulullah. Nah kalau kita? Siapa yang menjamin amal bid’ah kita itu boleh dan
diterima? Padahal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Barangsiapa membuat suatu perkara baru dalam urusan kami ini (urusan
agama) yang tidak ada asalnya, maka perkara tersebut tertolak.” (HR. Bukhari no. 2697 dan Muslim no. 1718)
Maka dari itu jelaslah bahwa perbuatan Bilal ini tidak bisa
dijadikan hujjah untuk bolehnya bid’ah hasanah. Cukuplah pesan Ibnu Mas’ud
berikut ini sebagai renungan bagi kita.
“Ikutilah (petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam), janganlah
membuat bid’ah. Karena (ajaran Nabi) itu sudah cukup bagi kalian. Semua amalan
yang tanpa tuntunan Nabi (bid’ah) adalah sesat .” (HR. Thobroni dalam Al-Mu’jam Al-Kabir no. 8770. Al-Haitsami
mengatakan dalam Majma’ Zawa’id bahwa para perowinya adalah perawi yang dipakai
dalam kitab shahih)
Semoga tulisan ini menambah wawasan, ilmu dan pengetahuan
kita. Semoga Allah memberikan hidayah-Nya selalu kepada kita semua.
Semoga bermanfaat.
Diselesaikan pada 4 Dzulhijjah 1439 Hijriyah/15 Agustus 2018
Masehi.
EmoticonEmoticon