Dalil-Dalil Haramnya Musik |
AlQuranPedia.Org - Musik/nyanyian adalah suara-suara syaitan. Para
‘ulama telah bersepakat atas keharaman musik, hal itu berdasarkan ayat-ayat
Al-Quran dan hadits-hadits shahih Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Musik tetaplah haram sekalipun itu musik islami. Musik tetaplah haram meskipun
yang bersenandung adalah syaikh, ustadz, habib dan pemuka agama lainnya. Karena
yang menjadi tolak ukur kebenaran adalah Al-Quran dan Hadits-Hadits Nabi,
bukanlah perbuatan seseorang ataupun suatu negara.
Pada tulisan kali ini blog Al-Quran Pedia akan membahas secara
lengkap dan detail tentang dalil-dalil keharaman musik, baik itu ayat Al-Quran,
hadits-hadits ataupun perkataan para ‘ulama tentangnya. Simak selengkapnya di
bawah ini.
A. AYAT
AL-QURAN
1. Ayat
Pertama
Allah
Subhanahu Wa Ta’ala berfirman,
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَشْتَرِي لَهْوَ الْحَدِيثِ لِيُضِلَّ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ وَيَتَّخِذَهَا هُزُوًا أُولَئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ مُهِينٌ وَإِذَا تُتْلَى عَلَيْهِ آيَاتُنَا وَلَّى مُسْتَكْبِرًا كَأَنْ لَمْ يَسْمَعْهَا كَأَنَّ فِي أُذُنَيْهِ وَقْرًا فَبَشِّرْهُ بِعَذَابٍ أَلِيمٍ
“Dan di
antara manusia (ada) orang yang mempergunakan lahwal hadits (perkataan yang
tidak berguna) untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa
pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan. Mereka itu akan
memperoleh azab yang menghinakan. Dan apabila dibacakan kepadanya ayat-ayat
Kami dia berpaling dengan menyombongkan diri seolah-olah dia belum
mendengarnya, seakan-akan ada sumbat di kedua telinganya; maka beri kabar
gembiralah padanya dengan azab yang pedih.” (Q.S. Luqman : 6-7)
Ibnu Jarir
Ath-Thabari rahimahullah dalam kitab tafsirnya mengatakan bahwa para pakar
tafsir berselisih pendapat apa yang dimaksud dengan لَهْوَ الْحَدِيثِ “lahwal hadits”
dalam ayat tersebut. Sebagian mereka mengatakan bahwa yang dimaksudkan adalah
nyanyian dan mendengarkannya. Lalu setelah itu Ibnu Jarir rahimahullah
menyebutkan beberapa perkataan ulama salaf mengenai tafsir ayat tersebut. Di
antaranya adalah dari Abu Ash Shobaa’ Al-Bakri –rahimahullah-. Beliau
mengatakan bahwa dia mendengar Ibnu Mas’ud radhiyallahu 'anhu ditanya mengenai
tafsir ayat tersebut, lantas beliau radhiyallahu ‘anhu berkata,
الغِنَاءُ، وَالَّذِي لاَ إِلَهَ إِلاَّ هُوَ، يُرَدِّدُهَا ثَلاَث َمَرَّاتٍ.
“Yang
dimaksud adalah nyanyian, demi Dzat yang tidak ada ilah (sesembahan)
yang berhak diibadahi selain Dia.” Beliau menyebutkan makna tersebut sebanyak
tiga kali. (Lihat Jami’ul Bayan fii Ta’wilil Qur’an, Ibnu Jarir Ath Thobari,
20/127, Muassasah Ar Risalah, cetakan pertama, tahun 1420 H)
Kalau kita
lihat perkataan Ibnu Mas'ud radhiyallahu 'anhu, salah seorang pakar Al-Quran di
kalangan sahabat dan salah satu sahabat terdekat Rasulullah shallallahu 'alaihi
wa sallam. Beliau bersumpah dengan nama Allah bahwa yang dimaksud lahwal hadits
adalah nyanyian.
Penafsiran
senada disampaikan oleh Mujahid, Sa’id bin Jubair, ‘Ikrimah, dan Qotadah
rahimahumullah. Dari Ibnu Abi Najih, Mujahid berkata bahwa yang dimaksud lahwal
hadits adalah bedug (genderang). (Zaadul Masiir, Ibnul Jauziy, 5/105, Mawqi’
At-Tafasir).
Imam
Asy-Syaukani rahimahullah dalam kitab tafsirnya mengatakan, “Lahwal hadits
adalah segala sesuatu yang melalaikan seseorang dari berbuat baik. Hal itu bisa
berupa nyanyian, permainan, cerita-cerita bohong dan setiap
kemungkaran.” Lalu, Asy Syaukani menukil perkataan Al Qurtubhi yang mengatakan
bahwa tafsiran yang paling bagus untuk makna lahwal hadits adalah nyanyian.
Inilah pendapat para sahabat dan tabi’in. (Lihat Fathul Qadir, Asy Syaukani,
5/483, Mawqi’ At Tafasir).
2. Ayat
Kedua
Allah
Tabaraka Wa Ta’ala berfirman,
أَفَمِنْ هَذَا الْحَدِيثِ تَعْجَبُونَ , وَتَضْحَكُونَ وَلا تَبْكُونَ , وَأَنْتُمْ سَامِدُونَ , فَاسْجُدُوا لِلَّهِ وَاعْبُدُوا
“Maka,
apakah kamu merasa heran terhadap pemberitaan ini? Dan kamu mentertawakan dan
tidak menangis? Sedang kamu saamiduun? Maka, bersujudlah kepada Allah
dan sembahlah (Dia).” (QS. An Najm: 59-62)
Apa yang
dimaksud dengan سَامِدُونَ /saamiduun ?
Menurut
salah satu pendapat, makna saamiduun adalah bernyanyi dan ini berasal
dari bahasa orang Yaman. Mereka biasa menyebut “ismud lanaa” dan maksudnya
adalah: “Bernyanyilah untuk kami”. Pendapat ini diriwayatkan dari
‘Ikrimah rahimahullah dan Ibnu ‘Abbas radhiyallahu 'anhuma. (Lihat Zaadul
Masiir, 5/448)
‘Ikrimah
rahimahullah mengatakan, “Mereka biasa mendengarkan Al-Quran, namun mereka
malah bernyanyi. Kemudian turunlah ayat ini (surat An-Najm di atas).”
(Lihat Ighatsatul Lahfan, 1/258)
B.
HADITS-HADITS NABI
1. Hadits
Pertama
Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَيَكُونَنَّ مِنْ أُمَّتِى أَقْوَامٌ يَسْتَحِلُّونَ الْحِرَ وَالْحَرِيرَ وَالْخَمْرَ وَالْمَعَازِفَ ، وَلَيَنْزِلَنَّ أَقْوَامٌ إِلَى جَنْبِ عَلَمٍ يَرُوحُ عَلَيْهِمْ بِسَارِحَةٍ لَهُمْ ، يَأْتِيهِمْ – يَعْنِى الْفَقِيرَ – لِحَاجَةٍ فَيَقُولُوا ارْجِعْ إِلَيْنَا غَدًا . فَيُبَيِّتُهُمُ اللَّهُ وَيَضَعُ الْعَلَمَ ، وَيَمْسَخُ آخَرِينَ قِرَدَةً وَخَنَازِيرَ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ
“Sungguh,
benar-benar akan ada di kalangan umatku sekelompok orang yang menghalalkan
zina, sutera, khamr, dan alat musik. Dan beberapa kelompok orang akan
singgah di lereng gunung dengan binatang ternak mereka. Seorang yang fakir
mendatangi mereka untuk suatu keperluan, lalu mereka berkata, ‘Kembalilah
kepada kami esok hari.’ Kemudian Allah mendatangkan siksaan kepada mereka dan
menimpakan gunung kepada mereka serta Allah mengubah sebagian mereka menjadi
kera dan babi hingga hari kiamat.” (HR. Bukhari)
2. Hadits
Kedua
Dari Abu
Malik Al-Asy’ari radhiyallahu 'anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,
لَيَشْرَبَنَّ نَاسٌ مِنْ أُمَّتِى الْخَمْرَ يُسَمُّونَهَا بِغَيْرِ اسْمِهَا يُعْزَفُ عَلَى رُءُوسِهِمْ بِالْمَعَازِفِ وَالْمُغَنِّيَاتِ يَخْسِفُ اللَّهُ بِهِمُ الأَرْضَ وَيَجْعَلُ مِنْهُمُ الْقِرَدَةَ وَالْخَنَازِيرَ
“Sungguh,
akan ada orang-orang dari umatku yang meminum khamr, mereka menamakannya dengan
selain namanya. Mereka dihibur dengan musik dan alunan suara biduanita. Allah akan membenamkan mereka ke dalam bumi
dan Dia akan mengubah bentuk mereka menjadi kera dan babi.” (HR. Ibnu Majah dan
Ibnu Hibban. Syaikh Nashiruddin Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)
3. Hadits
Ketiga
Dari Nafi’
–bekas budak Ibnu ‘Umar radhiyallahu 'anhuma-, beliau berkata,
عُمَرَ سَمِعَ ابْنُ عُمَرَ صَوْتَ زَمَّارَةِ رَاعٍ فَوَضَعَ إِصْبَعَيْهِ فِى أُذُنَيْهِ وَعَدَلَ رَاحِلَتَهُ عَنِ الطَّرِيقِ وَهُوَ يَقُولُ يَا نَافِعُ أَتَسْمَعُ فَأَقُولُ نَعَمْ. قَالَ فَيَمْضِى حَتَّى قُلْتُ لاَ. قَالَ فَوَضَعَ يَدَيْهِ وَأَعَادَ الرَّاحِلَةَ إِلَى الطَّرِيقِ وَقَالَ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- وَسَمِعَ صَوْتَ زَمَّارَةِ رَاعٍ فَصَنَعَ مِثْلَ هَذَا
Ibnu ‘Umar
pernah mendengar suara seruling dari seorang pengembala, lalu beliau menyumbat
kedua telinganya dengan kedua jarinya. Kemudian beliau pindah ke jalan yang
lain. Lalu Ibnu ‘Umar berkata, “Wahai Nafi’, apakah kamu masih mendengar suara
tadi?” Aku (Nafi’) berkata, “Iya, aku masih mendengarnya.”
Kemudian,
Ibnu ‘Umar terus berjalan. Lalu, aku berkata, “Aku tidak mendengarnya lagi.”
Barulah
setelah itu Ibnu ‘Umar melepaskan tangannya dari telinganya dan kembali ke
jalan itu lalu berkata, “Beginilah aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam ketika mendengar suara seruling dari seorang pengembala. Beliau
melakukannya seperti tadi.” (HR. Ahmad. Syaikh Syu’aib Al-Arnauth mengatakan
bahwa hadits ini hasan)
C.
PERKATAAN PARA 'ULAMA
1. Imam
Abu Hanifah
Abu Ath
Thayyib Ath-Thabari berkata, “Abu Hanifah membenci nyanyian, walaupun
beliau membolehkan minum nabidz (sari buah yang diminum). Beliau menganggap
mendengarkan nyanyian termasuk dosa. Demikian juga pendapat suruh penduduk
Kufah (yakni para ulamanya): Ibrahim, Asy-Sya’bo, Hammad, Sufyan Ats-Tsauri,
dan lainnya. Tidak ada perbedaan pendapat di kalangan mereka dalam hal itu. Dan
di antara penduduk Bashrah (yakni para ulamanya), tidak dikenal adanya
perbedaan pendapat tentang kebencian dan larangan nyanyian, kecuali yang
diriwayatkan dari ‘Ubaidullah bin Al Hasan Al Anbari” (Muntaqan Nafis min
Talbis Iblis, 300-301)
2. Imam
Malik bin Anas
Beliau
ditanya tentang nyanyian, beliau menjawab: “Sesungguhnya yang melakukannya
dikalangan kita hanya orang-orang fasik” (riwayat Al-Khallal di dalam Al-Amru
bil Ma’ruf dan Ibnul Jauzi di dalam Talbis Iblis. Dinukil dari Tahrim alat
Tharb, 99-100).
Abu Ath Thayyib
Ath-Thabari berkata, “Adapun Malik bin Anas, maka beliau melarang nyanyian
dan mendengarkannya. Dan beliau berkata, ‘Jika seseorang membeli budak
wanita, lalu dia mendapatinya sebagai penaynyi, maka dia berhak
mengembalikannya dengan alasan cacat’. Dan ini merupakan pendapat seluruh
penduduk Madinah, kecuali Ibrahim bin Sa’ad saja” (Muntaqan Nafis min Talbis
Iblis, 300)
3. Imam
Syafi'i
Beliau
berkata, “Nyanyian merupakan perkara melalaikan yang dibenci, menyerupai
kebatilan. Barangsiapa memperbanyaknya maka dia seorang yang bodoh.
Pesaksiannya ditolak” (Muntaqan Nafis min Talbis Iblis, 301)
4. Imam
Ahmad bin Hanbal
Abdullah
bin Ahmad, putra beliau meriwayatkan perkataan beliau: “Nyanyian menumbuhkan
kemunafikan di dalam hati, aku tidak menyukainya”. (Muntaqan Nafis min
Talbis Iblis, 297)
5. Sa'id
bin Musayyib
Beliau
berkata, “Sesungguhnya aku benar-benar membenci nyanyian dan menyukai
rojaz (sejenis sya’ir)” (riwayat Abdurrazaq dalam Al Mushannaf, 11/6/19743
dengan sanad shahih. dinukil dari Tahrim Alat Tharb, 101)
6. Umar
bin Abdul Aziz
Beliau
menulis surat kepada guru anaknya, “Hendaklah pertama kali yang diyakini
anak-anakku dari tata-kramamu adalah membenci nyanyian. Yang awalnya dari
setan, akhirnya kemurkaan dari Ar-Rahman Jalla Wa A'la. Karena sesungguhnya
telah sampai kepadaku dari para ulama yang terpercaya bahwa menghadiri
alat-alat musik dan mendengarkan nyanyian-nyanyian serta menyukainya akan
menumbuhkan kemunafikan di dalam hati, sebagaimana air akan menumbuhkan
rerumputan. Demi Allah, sesungguhnya menjaga hal itu dengan tidak
mendatangi tempat-tempat tersebut, lebih mudah bagi orang yang berakal,
daripada bercokolnya kemunafikan di dalam hati” (Muntaqan Nafis min Talbis
Iblis, 306)
7. Fudhail
bin 'Iyadh
Beliau
berkata, “Nyanyian adalah mantra setan” (Muntaqan Nafis min Talbis
Iblis, 307)
8.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah
Beliau
berkata, “Sesungguhnya Imam madzhab yang empat bersepakat tentang keharaman
al-ma’azif, yaitu alat-alat hiburan, seperti ‘ud (banjo) dan semacamnya. Seandainya
seseorang merusaknya, maka menurut mereka (imam madzhab yang empat) orang
tersebut tidak diharuskan mengganti bentuk kerusakan. Bahkan menurut mereka
haram memilikinya” (Minhajus Sunnah, 3/439. Dinukil dari Tahruim alat Tharb,
99)
9. Imam
Ibnul Qoyyim
Beliau
berkata, “Sisi penunjukkan dalil keharaman alat-alat musik bahwa al-ma’azif
adalah alat-alat hiburan semuanya, tidak ada perselisihan di antara ahli bahasa
di dalam hal ini. Seandainya hal itu halal, niscaya Nabi tidak mencela
mereka terhadap penghalalannya. Dan ketika beliau merangkaikan penghalalan
al-ma’azif dengan penghalalan khamr dan zina. Dan beliau telah mengancam
orang-orang yang menghalalkan al-ma’azif dengan dibenamkan oleh Allah ke dalam
bumi, dabn meriobah mereka menjadi kera dan babi. Walaupun ancaman ini terhadap
seluruh perbuatan-perbuatan ini, tetapi pada masing-masing terdapat celaan dan
ancaman” (Ighatsatul Lahfan, 1/260-261, dinukil dari Tahrim alat Tharb, 95)
10. Abu
Bakar Az-Zabidi (Ulama Hanafiyah)
Beliau
berkata, "Tidak dipotong tangan pencuri duff, gendang, seruling) karena
alat-alat musik ini telah dianjurkan untuk dirusak. Dan yang dimaksud gendang
di sini adalah gendang untuk hiburan, adapun genderang untuk perang ada khilaf
di dalamnya dan pendapat yang tepat adalah tidak dipotong juga orang yang
mencurinya” (Al-Jauharatun Nirah, 2/166)
11. Imam
Qurthubi (Ulama Malikiyyah)
Beliau
berkata, “Adapun seruling, sitar, dan al-kuubah (gendang) maka tidak ada
perselisihan mengenai keharaman mendengarkannya. Dan belum pernah saya
mendengar ada yang membolehkannya di kalangan ulama yang didengarkan ucapannya
dari para salaf dan khalaf. Maka bagaimana mungkin tidak haram? Dan alat-alat
musik ini juga merupakan syiar para pemabuk, orang fasik, pecinta syahwat,
orang-orang bobrok dan cabul. Dan ini membuat keharamannya semakin tidak
diragukan lagi, serta tidak ragu memvonis fasiq dan dosa bagi pelakunya”
(dinukil dari Hukmul Ghina wal Ma’azif, hal. 1)
12. Ibnu
Hajar Al-Haitami (Ulama Syafi'iyah)
Beliau
berkata, “Dosa besar yang ke 446, 447, 448, 449, 450, 451 adalah memainkan
nada-nada, mendengarkannya, meniup seruling, mendengarkannya, menabuh gendang,
dan mendengarkannya.” (dinukil dari Hukmul Ghina wal Ma’azif, hal. 1)
13. Ibnu
Qudamah Al-Maqdisi (Ulama Hanabilah)
“Adapun gendang,
seruling dan gitar, tidak ada hukuman potong tangan untuk orang yang
mencurinya, walaupun jika sudah mencapai nishab barang curian. Ini adalah
pendapat Abu Hanifah”, diakhir penjelasan beliau mengatakan “adapun menurut
kami, semua itu adalah alat-alat maksiat berdasarkan ijma'” (Al-Mughni,
9/132)
14. Ibnu
Abdil Barr
Beliau
berkata, “Diantara profesi yang disepakati keharamannya adalah riba,
upah melacur, uang suap, upah yang didapatkan karena menjadi tukang meratap, menyanyi
plus musik, menjadi dukun, mengaku-aku mengetahui masa depan dan
berita-berita langit serta upah karena meniup seruling dan semua permainan yang
sia-sia” (Al-Kafi fi Fiqhi Ahlil Madinah, 1/444)
15. Ibnu
Rajab Al-Hanbali
Beliau
berkata, “Adapun hukum mendengarkan alat musik yang pada asalnya berasal
dari orang ‘ajam adalah haram dengan kesepakatan ulama. Tidak diketahui
adanya seorang ulama yang membolehkannya. Siapa yang mengatakan bahwa ada ulama
besar yang diakui keilmuannya yang membolehkan alat musik adalah seorang yang berdusta
dan membuat fitnah” (Fathul Bari Ibnu Rajab, 8/436)
Dan masih
banyak lagi ulama lainnya
Itulah
berbagai dalil-dalil seputar keharaman musik dan perkataan para ‘ulama
tentangnya. Semoga tulisan ini menambah wawasan kita, menjadi renungan bagi
kita dan dapat mengamalkan perintah Allah dan Rasul-Nya untuk menjauhi musik.
Semoga bermanfaat.
Diselesaikan pada 26 Jumadil Akhir 1439 Hijriyah/14 Maret 2018
Masehi.
EmoticonEmoticon