Fatwa Para Ulama Tentang Pemilu |
AlQuranPedia.Org – Pemilu adalah pesta demokrasi yang
dilakukan di suatu negara. Pemilu bukanlah berasal dari Islam, demokrasi juga
bukan berasal dari Islam, tetapi ia berasal dari falsafah Yunani. Di antara
sistem demokrasi adalah yang suara terbanyak ialah yang menang. Ini tentu saja
bertabrakan dengan Islam. Sistem di dalam Islam ialah musyawarah. Akan tetapi
bagaimana dengan kita khususnya warga Indonesia yang tinggal di negeri yang
menggunakan sistem demokrasi? Apakah kita mengikuti pemilu ataukah tidak? Terlebih
lagi masalah ini adalah masalah kontemporer yang mana kita harus merujuk kepada
pendapat ulama yang tentu saja lebih mengetahui daripada kita.
Maka
bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui,
(Q.S. An-Nahl : 43)
Pada tulisan kali ini akan dikutip berbagai pendapat ulama
seputar pemilu dan bagaimana hukumnya ikut serta mencoblos dalam pemilu.
Pertama: Fatwa Al-Lajnah Ad-Daimah Saudi Arabia
Yang ditanda-tangani oleh Syaikh Abdul Aziz bin Baz (ketua), Syaikh
Abdurrazaq ‘Afifi (wakil ketua) dan Syaikh Abdullah Ghuddayan (anggota). Yaitu
fatwa nomor 14676 yang terdapat dalam Majmu’ Fatawa Al Lajnah Ad Daimah
(27/372-374), sebagai jawaban atas pertanyaan berkut:
Soal:
Sebagaimana anda ketahui, kami di Aljazair akan diadakan agenda yang
dinamakan intikhabat tasyri’iyyah (pemilihan legislatif). Dalam pemilu tersebut
ada partai yang mengajak untuk menegakkan hukum Islam. Ada juga partai yang
tidak menginginkan hukum Islam. Bagaimana hukumnya menjadi pemilih yang
mencoblos partai yang tidak menginginkan hukum Islam, namun pemilih ini masih
menegakkan shalat?
Jawab:
Wajib bagi kaum Muslimin di negara yang tidak berhukum dengan syari’at
Islam untuk mengerahkan usahanya dan apapun yang mereka mampu untuk berhukum
dengan syariat Islam. Dan (wajib pula bagi mereka) untuk bersatu padu mendukung
partai yang diketahui partai tersebut akan berhukum dengan syari’at Islam.
Adapun mendukung pihak-pihak yang mengajak untuk tidak menerapkan
syari’at Islam, maka ini tidak boleh. Bahkan bisa menyeret pelakunya kepada
kekufuran, sebagaimana firman Allah Ta’ala :
وَأَنِ احْكُمْ
بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَلَا تَتَّبِعْ أهواءهُمْ وَاحْذَرْهُمْ أَنْ
يَفْتِنُوكَ عَنْ بَعْضِ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ إِلَيْكَ فَإِنْ تَوَلَّوْا
فَاعْلَمْ أَنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ أَنْ يُصِيبَهُمْ بِبَعْضِ ذُنُوبِهِمْ
وَإِنَّ كَثِيرًا مِنَ النَّاسِ لَفَاسِقُونَ] , [ أَفَحُكْمَ الجاهلية يَبْغُونَ
وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ
“Hendaklah Engkau memutuskan perkara di antara mereka menurut hukum
yang diturunkan Allah, janganlah Engkau mengikuti keinginan mereka, dan
waspadalah terhadap mereka, jangan sampai mereka memperdaya Engkau dalam
sebagian hukum yang telah diturunkan Allah kepadamu. Lalu jika mereka berpaling
(dari hukum yang telah diturunkan Allah), maka ketahuilah bahwa sesungguhnya
Allh berkehendak menimpakan musibah kepada mereka disebabkan sebagian dosa-dosa
mereka. Dan sungguh kebanyakan manusia adalah orang-orang fasik. Apakah hukum
jahiliyah yang mereka inginkan?! Tidak ada hukum yang lebih baik dari hukum
Allah bagi orang-orang yang meyakini” (QS. Al-Ma’idah 49-50)
Oleh karena itu, ketika Allah menjelaskan kufurnya orang yang tidak
berhukum dengan syari’at Islam, Allah memperingatkan untuk tidak membantu
mereka atau menjadikan mereka pemimpin, dan Allah juga memerintahkan kaum
Mukminin untuk bertakwa bila mereka mukmin sejati. Allah ta’ala berfirman:
يَاأَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الَّذِينَ اتَّخَذُوا دِينَكُمْ هُزُوًا
وَلَعِبًا مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكتاب مِنْ قَبْلِكُمْ وَالْكُفَّارَ
أَوْلِيَاءَ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian jadikan sebagai
pemimpin; orang-orang yang diberi kitab sebelum kalian dan orang-orang kafir
yang menjadikan agama kalian sebagai bahan ejekan dan permainan, dan
bertakwalah kepada Allah bila kalian orang-orang yang beriman. (Al-Ma’idah:
57).
Wabillahi at taufiq washallallahu ‘ala nabiyyina muhammadin wa alihi
wa shahbihi wasallam
Kedua: Fatwa Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah
Yang disebarluaskan dalam majalah Liwaul Islam edisi 3 bulan
Dzulqa’dah 1409 / Juni 1989. Syaikh Manna’ Al Qathan menukil dari majalah
tersebut dalam kitab beliau “Muqu’at Tathbiq Asy Syari’ah Al Islamiyah”. Dalam
fatwa ini Syaikh Ibnu Baz menjawab pertanyaan seorang penanya tentang hukum
syar’i mengenai perwakilan rakyat di parlemen juga tentang pencoblosan surat
suara PEMILU dengan niat untuk memilih sebagian ikhwah dan da’i Islam yang
masuk ke parlemen. Syaikh Abdul Aziz bin Baz pun menjawab:
“Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
إنما الأعمال
بالنيات، وإنما لكل امرئ ما نوى
‘sesungguhnya setiap amal itu disertai niat, dan setiap amal itu
tergantung niatnya‘
oleh karena itu tidak mengapa masuk ke parlemen jika maksudnya untuk
menyokong kebenaran, dan tidak menyetujui kebatilan. Karena jika demikian
adanya, maka hal tersebut termasuk pembelaan terhadap kebenaran, dan bersatu
padu dengan para da’i ilallah.
Dengan demikian juga tidak mengapa mencoblos surat suara Pemilu yang
membantu untuk memenangkan para da’i yang shalih, serta membantu menyokong
kebenaran dan para pembelanya. Wallahul muwaffiq”
Ketiga: Fatwa Syaikh Muhammad bin Shalih Al-'Utsaimin rahimahullah
Yaitu fatwa atas salah satu pertanyaan dalam Liqa Al Bab Al Maftuh
(211),
Soal:
Wahai Syaikh, apa hukum ikut serta dalam PEMILU yang diselenggarakan
di Kuwait? Dengan catatan, mayoritas orang ada di dalamnya adalah para tokoh
Islam dan para da’i yang keadaan agamanya rusak. Dan juga, apa hukumnya memilih
ketua kabilah yang ada di sana?
Jawab:
Saya perpandangan (mengikuti) pemilu itu wajib. Kita wajib memilih
orang yang kita lihat ada kebaikan padanya. Karena bila orang-orang yang baik
mundur, siapa yang akan menempati posisi mereka? (tentu saja) orang-orang yang
buruk, atau orang-orang pasif yang tidak memiliki kebaikan atau keburukan, yang
senantiasa mengikuti orang yang mengajaknya. Kita wajib memilih orang yang kita
pandang shalih.
Jika ada yang mengatakan: “apa gunanya kita memilih satu orang shalih,
sedangkan mayoritas anggota parlemen keadaannya sebaliknya?”. Kita katakan,
tidak masalah, satu orang ini jika Allah memberikan keberkahan padanya dan ia
bisa menyampaikan kebenaran dalam parlemen ini, hal tersebut akan memberikan
pengaruh, itu pasti. Tapi masalahnya, kita kurang tulus dalam bertawakkal
kepada Allah. Kita bersandar pada hal-hal yang bersifat materi dan kasat mata,
tapi tidak melihat kepada kalimat Allah Azza wa Jalla.
Apa yang akan anda katakan terhadap perbuatan Nabi Musa alaihissalam
ketika Fir’aun meminta kepadanya untuk bersepakat datang pada suatu waktu
dimana Fir’aun bisa mendatangkan semua tukang sihir. Nabi Musa menyepakati hal
tersebut untuk datang pada waktu dhuha bertepatan pada yaumuz zinah (hari berhias;
yaitu hari raya mereka karena orang-orang biasanya berhias di hari raya), di
siang bolong, bukan malam hari, dan di tempat yang lapang. Maka seluruh manusia
pun berkumpul, lalu Nabi Musa alaihissalam mengatakan kepada mereka:
وَيْلَكُمْ لا
تَفْتَرُوا عَلَى اللَّهِ كَذِباً فَيُسْحِتَكُمْ بِعَذَابٍ وَقَدْ خَابَ مَنِ
افْتَرَى
“Celakalah kalian, janganlah kalian berdusta atas nama Allah, sehingga
Dia membinasakan kalian dengan azab, dan pasti merugi orang yang berdusta (atas
namaNya)”. (QS. Thaha: 61)
Satu kalimat yang menjadi ‘bom’ bagi mereka. Allah Ta’ala berfirman:
فَتَنَازَعُوا
أمرهُمْ بَيْنَهُمْ
“Maka mereka berbantah-bantahan tentang urusan mereka di antara
mereka” (QS. Thaha: 62)
Huruf fa’ di sini menunjukkan tartib (urutan) dan ta’qib was sababiyyah
(sebab-akibat). Maksudnya, sejak Musa mengatakan perkataannya, orang-orang pun
saling berselisih diantara mereka. Padahal bila orang-orang sudah berselisih,
itulah kelemahan. Sebagaimana Allah ta’ala berfirman:
وَلا تَنَازَعُوا
فَتَفْشَلُوا
“dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi
gentar” (QS. Al Anfal: 46)
kemudian,
فَتَنَازَعُوا
أمرهُمْ بَيْنَهُمْ وَأَسَرُّوا النَّجْوَى
“Maka mereka berbantah-bantahan tentang urusan mereka di antara
mereka, dan mereka merahasiakan percakapan (mereka)” (QS. Thaha: 62)
dan hasilnya, para tukang sihir yang awalnya datang untuk melawan
Musa, malah menjadi pembelanya. Mereka pun bersimpuh sujud kepada Allah dan
menyatakan:
آمَنَّا بِرَبِّ
هَارُونَ وَمُوسَى
“kami telah beriman kepada Rabb Harun dan Musa” (QS. Thaha: 70)
padahal Fir’aun di hadapan mereka. Mereka terpengaruh oleh perkataan
dari satu orang, di hadapan umat manusia yang banyak, dan di depan pemimpin
mereka yang paling berkuasa diantara mereka.
Oleh karena itu, saya katakan, walaupun di majelis parlemen hanya ada
sedikit pengikut kebenaran, mereka akan memberikan manfaat. Namun mereka wajib
untuk ikhlas kepada Allah Ta’ala. Adapun yang mengatakan bahwa parlemen itu
tidak dibolehkan, karena tidak boleh bergabung dengan orang-orang fasik dan
duduk bersama mereka. Maka apakah kita mengatakan boleh duduk dengan mereka
untuk menyetujui mereka? Kita duduk bersama mereka untuk menjelaskan kebenaran
kepada mereka.
Sebagian ikhwah dari para ulama mengatakan: “tidak boleh bergabung
dengan parlemen, karena orang yang lurus ini akan duduk bersama orang yang
menyimpang”. Maka kita katakan, apakah orang yang lurus tersebut duduk agar
jadi menyimpang, ataukah untuk meluruskan yang bengkok? Tentu untuk meluruskan
yang bengkok dan mengubahnya. Jika dia tidak berhasil pada kali pertama,
mungkin ia akan berhasil pada kali kedua.” [selesai]
Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin menguatkan fatwanya tersebut
mengenai pembolehan ikut serta dalam Pemilu dalam As’ilah Al Qathriyah (34):
Soal:
Fadhilatus Syaikh, penanya mengatakan: “apakah engkau memfatwakan
bolehnya ikut serta dalam Pemilu?”
Jawab:
Ya, saya memang memfatwakan demikian. Memang semestinya demikian.
Karena bila suara Kaum Muslimin hilang, artinya majlis parlemen akan murni
menjadi milik pelaku keburukan. Dan bila kaum Muslimin ikut serta dalam pemilu,
mereka hendaknya mereka memilih orang yang mereka pandang layak. Sehingga akan
timbul kebaikan dan keberkahan [selesai].
Syaikh Ahmad bin Abdurrahman Al Qadhi dalam kitab Tsamaratud Tadwin
menceritakan soal tanya-jawabnya dengan Syaikh Ibnu Al Utsaimin: “Soal no. 593,
(26/6/1420H), aku pernah bertanya kepada Syaikh kami (Syaikh Ibnu Al Utsaimin)
rahimahullah tentang kaum Muslimin di Amerika, apakah mereka boleh mengikuti
Pemilu yang berjalan di beberapa negara bagian untuk mendukung calon yang
mendukung kepentingan kaum Muslimin? maka beliau menyatakan persetujuan tanpa
ragu.
Keempat: Fatwa Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah
Ketika beliau menjawab mengenai partai FIS, sebagaimana yang
diterbitkan dalam majalah Al Ashalah edisi ke-4
Soal:
Bagaimana hukum syar’i dalam hal pembelaan dan dukungan terkait dengan
masalah yang barusan disebutkan (yaitu mengenai Pemilu) ?
Jawab:
Untuk saat ini saya tidak menasehatkan seorang pun dari saudara kita
kaum Muslimin untuk mencalonkan dirinya untuk menjadi wakil rakyat di parlemen,
janganlah berhukum dengan selain hukum Allah. Walaupun dalam undang-undang
disebutkan “negara berasaskan Islam”. Karena kata-kata ini para prakteknya
hanya untuk membius para wakil rakyat yang masih baik hatinya. Itu karena
mereka tidak memiliki kemampuan untuk mengubah apapun yang ada di dalam
undang-undang yang menyelisihi syariat Islam. Sebagaimana realitanya di
beberapa negara yang dalam undang-undangnya tertulis kata-kata tersebut
(“negara berasaskan Islam”), padahal belum ada yang mempermasalahkan (penerapan
syariat Islam), namun tetap saja ditetapkan hukum-hukum yang bertentangan
dengan syariat Islam. Dengan alasan sekarang ini belum siap, kelak nanti akan
diubah lagi. Hal ini kami saksikan di sebagian negara.
Si wakil rakyat tersebut mengubah kemasan Islam lalu ia mengemasnya
dengan kemasan ala barat demi mengharapkan simpati para wakil rakyat yang lain.
Maka ia masuk ke parlemen awalnya ingin memperbaik orang lain, namun dirinya
malah menjadi rusak. Ibaratnya, hujan awalnya rintik-rintik, kemudian lama-lama
menjadi deras. Oleh karena itu kami tidak menasehatkan siapa pun untuk
mencalonkan dirinya.
Namun saya tidak melihat adanya halangan bagi masyarakat Muslim jika
dalam pemilihan caleg ada caleg-caleg yang menentang Islam dan ada pula
caleg-caleg Islam yang berasal dari partai-partai dengan berbagai macam
manhajnya, maka saya nasehatkan (jika memang demikian keadaannya) pada setiap
muslim untuk memilih para caleg Muslim saja, dan memilih caleg yang lebih dekat
kepada manhaj ilmiah yang shahih yang telah saya jelaskan sebelumnya.
Saya katakan demikian, walaupun saya berkeyakinan bahwa Pemilu itu
tidak mungkin bisa benar-benar mewujudkan tujuan yang diinginkan sebagaimana
sudah dijelaskan, namun dalam rangka memperkecil keburukan. Atau dalam rangka
mencegah mafsadah yang besar dengan mafsadah yang kecil, sebagaimana dikatakan
oleh para fuqaha. [selesai]
Syaikh Al Albani juga berkata dalam Silsilah Al Huda Wan Nur (600) :
“setiap Pemilu itu berjalan di atas kaidah-kaidah yang tidak Islami. Bahkan ia
sejalan dengan kaidah-kaidah Yahudi dan Zionis, yaitu: al ghayah tubarriru al
washilah (tujuan mesti dicapai dengan cara apapun)”.
Saya membedakan antara seorang Musilm yang mencalonkan diri menjadi
caleg di parlemen, dengan memilih seorang caleg yang dipandang kejelekannya
lebih kecil dibanding orang-orang lain di dalam parlemen. Wajib membedakan dua
hal ini, bahkan dalam pemilihan umum. Saya telah menuliskan surat kepada partai
FIS di Aljazair, setelah mereka bertanya kepada saya sebuah pertanyaan tentang
Pemilu. Dan saya jelaskan rincian masalahnya sebagaimana yang saya sebutkan
barusan. Bahwasanya Pemilu dan parlemen itu tidak Islami. Dan bahwasanya saya
tidak menasehatkan seorang Muslim pun untuk mencalonkan diri menjadi caleg di
parlemen ini, karena ia tidak akan bisa melakukan apa pun untuk Islam di sana.
Bahkan ia akan terbawa arus yang ada, sebagaimana yang terjadi di pemerintahan
yang ada sekarang di negara-negara Arab.
Walau demikian, saya katakan jika di dalam pemilihan tersebut ada
caleg-caleg Muslim, yang keberadaan mereka ini di tiap negeri Islam sebetulnya
sangat disayangkan, yang mereka mencalonkan diri mereka untuk menjadi caleg
dengan niatan ingin memperkecil keburukan, dan kita pun tidak bisa mencegah
mereka untuk mencalonkan diri karena yang kita bisa hanya menasehati dan
menyampaikan. Maka ia pun akhirnya mencalonkan dirinya di pemilu nasional atau
pemilu daerah (tergantung definisi anda), lalu dalam pemilu tersebut terdapat
caleg Muslim yang mencalonkan dirinya tadi, ada caleg Nasrani, ada caleg Syi’ah
dan lainnya.
Maka, jika memungkinkan kita hendaknya mencegah seorang Muslim untuk
mencalonkan dirinya, baik di Pemilu nasional maupun Pemilu daerah. Jika kita
tidak bisa mencegahnya, kita akan memilih dia. Mengapa demikian? Karena ada
kaidah Islamiyah yang mendasarinya, sebagaimana yang telah kami jelaskan. Jika
seorang Muslim dihadapkan pada dua keburukan, maka pilih yang keburukannya
lebih kecil. Tidak ragu lagi adanya pemimpin Muslim itu lebih kecil
keburukannya, namun saya tidak katakan itu kebaikan, dibanding adanya pemimpin
yang kafir atau orang sesat. Namun si pemimpin Muslim ini sejatinya sedang
membakar dirinya sendiri tanpa sadar. Karena ia mencalonkan dirinya dengan
alasan ingin memperkecil keburukan, dan ia memang mengusahakannya, namun ia
tidak sadar bahwa di sisi lain dirinya sedang terbakar. Jadilah ia semisal
orang alim yang tidak mengamalkan ilmunya, Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam
bersabda:
مثل العالم الذي لا
يعمل بعلمه كمثل المصباح يحرق نفسه ويضيء غيره
“permisalan orang alim yang tidak mengamalkan ilmunya semisal lampu
yang membakar dirinya sendiri namun menerangi sekitarnya”
Oleh karena itulah, saya membedakan antara mencalonkan diri dengan
memilih. Jangan mencalonkan diri kita karena kita akan terbakar. Namun bagi
yang enggan terhadap nasehat ini, ia lebih memilih membakar dirinya secara
sedikit atau banyak, ia mencalonkan dirinya di dalam Pemilu, maka kita dalam
rangka mencegah keburukan yang lebih besar dengan keburukan yang kecil
hendaknya memilih orang tadi, dan tidak memilih orang kafir atau orang sesat.”
Penanya: “wahai Syaikh, saya pahami dari perkataan anda ini bahwa
dalam masalah Pemilu atau parlemen ini, memilih caleg yang ada disana, hukumnya
boleh?”
Syaikh menjawab: “ya benar, namun dalam rangka mencegah keburukan yang
lebih besar dengan keburukan yang lebih kecil, bukan karena hal tersebut baik”
[selesai]
Kelima: Fatwa Syaikh Abdul Muhsin Al-Abbad
Yaitu ketika beliau menyampaikan pelajaran Sunan Abu Daud (rekaman
no.488) ketika menjawab pertanyaan berikut, “apakah ikut serta dalam Pemilu
termasuk dalam mengingkari kemungkaran dengan tangan? Karena disitu seseorang
memilih seorang yang shalih agar dia menjadi pejabat negara”.
Jawab:
Pemilu ini bukan jalan yang syar’i. Bahkan ia adalah metode yang
datang dari para musuh Islam. Dalam Pemilu ini, hukum diputuskan berdasarkan
suara terbanyak. Andaikan yang terbanyak dipilih adalah orang yang paling
buruk, atau mereka yang terbanyak memilih adalah orang yang buruk, dan mereka
memilih salah seorang (yang buruk juga) di antara mereka, maka hukum yang
diputuskan berdasarkan yang terbanyak. Kalau yang terbanyak adalah orang yang
buruk (agamanya), maka mereka akan memilih yang terburuk diantara mereka.
Ikut serta dalam Pemilu jika dibalik itu tidak ada manfaat dan
maslahatnya, itu tidak baik. Namun jika ikut serta di dalamnya akan
menghasilkan maslahat dalam keadaan dimana satu di antara dua kandidat itu
buruk dan yang lainnya kandidat yang baik. Ini andaikan jika tidak ikut serta
dalam Pemilu untuk mendukung kandidat yang baik maka akan menang kandidat yang
buruk. Jika demikian maka tidak mengapa ikut serta dalam Pemilu dalam rangka
mencapai maslahat tersebut dan mencegah bahaya.
Bahkan demikian juga, jika keadaannya terdapat dua pilihan yang satu
sangat buruk dan yang satu buruk juga namun keburukannya di bawah yang lainnya,
sebagaimana terjadi di sebagian negeri. Demikian pula jika keadaannya terdapat
dua pilihan yang keduanya kafir, yang satu sangat keras kebenciannya terhadap
kaum Muslimin dan memusuhi kaum Muslimin serta menyulitkan kaum Muslimin
sehingga mereka tidak mungkin menjalankan syariat, sedangkan yang kedua lebih
terbuka dan simpati kepada kaum Muslimin serta tidak ada kebencian kepada kaum
Muslimin, maka tidak ragu lagi bahwa mendukung orang yang lebih ringan kepada
kaum Muslimin lebih utama daripada tidak memilih karena adanya resiko menang
orang yang benci dan keras kepada kaum Muslimin.
Telah kita ketahui bersama, bahwa dalam Al Qur’an, kaum Muslimin
bergembira dengan kemenangan Romawi atas Persia, padahal mereka semua kafir.
Namun orang Romawi lebih ringan. Karena orang Romawi itu bersandar pada agama,
sedangkan orang Persia mereka menyembah berhala dan tidak memiliki agama.
Walaupun kedua pihak kafir, namun sebagiannya memiliki keburukan yang lebih
ringan dari yang lain.
Diantara kaidah syar’iyyah adalah “mengambil yang paling ringan
diantara dua bahaya dalam rangka melepaskan diri dari bahaya yang paling
besar”. Maka, mengambil yang paling ringan diantara dua bahaya dalam rangka
melepaskan diri dari bahaya yang paling besar adalah hal yang dituntut dari
setiap orang. Intinya, Pemilu itu asalnya datang dari luar kepada kaum Muslimin
dan bukan berasal dari agama Islam, dan ikut serta di dalamnya untuk menguatkan
kandidat yang baik dan mengalahkan yang buruk yang jika Pemilu ini ditinggalkan
akan kuatlah orang yang memiliki keburukan, maka tidak mengapa ikut serta.
Demikian juga jika semua kandidat adalah orang-orang yang buruk, namun salah
satu diantara dua kandidat lebih ringan keburukannya sebagaimana telah saya
sebutkan mengenai kondisi adanya dua kandidat kafir dimana salah satunya lebih
didukung karena ditidak membahayakan dibanding kandidat lain yang keras dan
memusuhi kaum Muslimin. Jika keadaannya demikian, maka ditoleransi untuk
mengikuti Pemilu dalam rangka menerapkan kaidah “mengambil yang paling ringan
diantara dua bahaya dalam rangka melepaskan diri dari bahaya yang paling besar”
[selesai]
Keenam: Fatwa Syaikh Abdurrahman Al-Barrak
Sebagai jawaban atas pertanyaan: “apa hukum Pemilu dan hukum
mengikutinya? Apa hukum masuk parlemen?”
Beliau menjawab: “Segala puji hanya bagi Allah, shalawat serta salam
semoga terlimpah kepada Rasulullah, keluarganya dan para sahabatnya semua. Amma
ba’du. Pemilu yang terjadi di beberapa negara Muslim, baik untuk memilih
pimpinan negara atau anggota parlemen, atau dewan rakyat atau apapun
istilahnya, ini adalah perkara yang berasal dari luar kaum Muslimin. Ini
kebiasaan yang diambil dari kaum kafir, yang dikarenakan pengambil-alihan
kekuasan negeri-negeri Muslim oleh orang kafir. Juga disebabkan oleh banyaknya
kaum Muslimin yang terkagum-kagum dengan metode orang kafir. Padahal
metode-metode tersebut bertentangan dengan akal dan syariat. Karena mendukung
kandidat yang akan dipilih dengan cara Pemilu itu standarnya hanya berupa
materi yang bersumber pada hawa nafsu dan kecenderungan-kecenderungan manusia.
Selain itu, dengan rusaknya metode ini, maka yang terpilih nanti pada
hakikatnya tidak mewakili umat. Karena tujuannya bukanlah memilih pemimpin
negara, namun sekedar memilih kandidat yang mencalonkan diri. Lalu putusan
pilihan yang terjadi dibangun berdasarkan propaganda-propaganda. Propaganda
siapa yang paling kuat, dan klaim siapa yang paling hebat, dialah yang menang”.
Lalu para pemilih dalam Pemilu yang dilandasi oleh banyaknya suara
ini, terdiri dari berbagai tingkatan dan golongan masyarakat. Ini artinya
antara orang yang pandai dengan orang tidak pandai disamakan, ulama disamakan
dengan orang bodoh, pria disamakan dengan wanita. Disamping itu terkadang
penghitungan suara tidak bersih, karena adanya risywah (suap) dan janji-janji
yang memiliki pengaruh yang besar. Inilah yang terjadi di negara-negara yang
mengusung kebudayaan demokrasi sebagai patokan benar-salahnya perkataan mereka.
Dan demokrasi ini pun merupakan asas dari agenda Pemilu.
Adapun negara-negara yang mengikuti jejak negara-negara Islam Arab,
tidak ada Pemilu yang terjadi di sana secara denotatif maupun konotatif.
Pemimpin adalah pemimpin, yang dipilih oleh 99% suara atau lebih. Dan semua
pemilihnya adalah orang-orang dari umat yang memang memiliki hak pilih yaitu
para ilmuan dan para ulama dan para tokoh yang memperbaiki umat serta
orang-orang yang senantiasa menasehati umat. Juga para peneliti yang ahli dalam
bidang-bidang yang mendukung kebaikan umat baik dalam hal dunia maupun agama.
Dan dalam permasalahan-permasalahan lainnya di bidang sosial dan
politik, mereka ini tidak memiliki pengaruh dalam Pemilu. Mereka termasuk
orang-orang yang terpental, tidak diperhitungkan dan tidak dianggap suaranya
(pendapatnya). Atau, mereka ini tenggelam dan tidak memiliki pengaruh di tengah
lautan suara mayoritas dari para pemilih yang berasal dari kelompok dan
tingkatan di masyarakat.
Dari sini jelaslah bahwa Pemilu ini sangat-sangat jauh dari sifat
pemilihan seorang pemimpin, yang telah ditetapkan dalam hukum-hukum
kepemimpinan dalam Islam. Kemudian syarat-syarat orang yang menjadi pemilih
dalam Pemilu ini bertentangan dengan kebanyakan syarat yang benar dalam
pemilihan imam yang Islami, yang ditetapkan kepemimpinannya dengan pemilihan
sebagaimana di bahas dalam ilmu fiqih Islam.
Dari semua penjelasan ini jelas sudah bahwa Pemilu ini adalah sesuatu
yang berasal dari luar Islam yang batil. Sistemnya batil. Ini karena
sifat-sifatnya mencocoki penyerupaan dengan orang kafir, sebagaimana sudah
dijelaskan. Dan karena sistem ini ditopang oleh propaganda, jual-beli suara,
dan klaim-klaim yang dusta, serta banyak penghasutan yang dilancarkan demi
suara. Bahkan mereka memberikan suaranya pada kandidat yang cocok dengan hawa
nafsu saja, tanpa menimbang akhlak dan keadaan agamanya.
Adapun hukum ikut serta dalam Pemilu, dan hukum masuk ke Parlemen, ini
adalah perkara ijtihadiyah. Jika dipastikan adanya maslahah syar’iyyah yang
lebih besar, dan dipastikan bisa mendukung kebenaran atau mengurangi keburukan
dan kezhaliman, tanpa bersentuhan langsung dengan perkara maksiat atau
menyetujui prinsip-prinsip kufur, atau menyetujui hukum-hukum thaghut yang
menyelisihi syariat Allah, maka ikut serta dalam hal tersebut disyariatkan.
Dalam rangka mengamalkan firman Allah Ta’ala:
{ فَاتَّقُوا
اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ}
“bertaqwalah kepada Allah semampu kalian” (QS. At Taghabun: 16)
Dan barangsiapa yang mengambil pendapat bahwa ikut serta dalam Pemilu
itu akan mewujudkan maslahah tersebut dan mencegah mafsadah maka ia harus
menyertainya dengan niat yang shalih. Dan siapa yang mengambil pendapat belum
adanya maslahah yang kuat dan merasa khawatir untuk terjerumus dalam kebatilan,
maka tidak mengapa baginya untuk meninggalkan semua golongan-golongan tersebut.
Dan ia mengupayakan nasehat bagi Allah Ta’ala, bagi Rasul-Nya
Shallallahu’alaihi Wasallam dan kaum Mu’minin. Sebagaimana firman Allah Ta’ala:
لَيْسَ عَلَى
الضُّعَفَاءِ وَلا عَلَى الْمَرْضَى، وَلا عَلَى الَّذِينَ لا يَجِدُونَ مَا
يُنْفِقُونَ حَرَجٌ إِذَا نَصَحُوا لِلَّهِ وَرَسُولِه،ِ مَا عَلَى الْمُحْسِنِينَ
مِنْ سَبِيلٍ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ
“Tiada dosa atas orang-orang yang lemah, atas orang-orang yang sakit
dan atas orang-orang yang tidak memperoleh apa yang akan mereka nafkahkan,
apabila mereka mengupayakan nasehat kepada Allah dan Rasul-Nya. Tidak ada jalan
sedikit pun untuk menyalahkan orang-orang yang berbuat baik. Dan Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang” (QS. At Taubah: 91).
Demikian yang bisa saya sampaikan. Wallahu Ta’ala A’lam. [selesai]
Syaikh Al-Barrak hafizhahullah juga menjawab pertanyaan berikut:
Soal:
Bagaimanakah pendapat ulama para pemimpin agama ini, pembimbing kaum
muslimin dan ulama mereka -semoga Allah menjaga mereka- dalam hukum memberikan
suara dalam pemilu di Irak, yang akan diselenggarakan di penghujung akhir tahun
masehi ini? Perlu diketahui bahwasanya pemilihan umum ini adalah pemilihan
untuk menentukan anggota majelis konstitusi Irak tahap akhir. Dan para calon
ini akan membuat undang-undang yang akan diterapkan di pelosok negara ini. Dan
pihak yang menang akan membuat peraturan yang menguntungkan bagi kelompoknya
atau kepentingannya atau untuk memperkuat kedudukannya di negara ini. Kadang
para anggota dewan ini menguatkan beberapa peraturan untuk menguatkan pihak dan
mazhab tertentu di antara yang lain. Dan inilah yang diancamkan oleh rafidhah
dan didukung penuh oleh Iran secara personil dan finansial. Mungkin juga pada
anggota dewan ini menerapkan pemisahan agama dari pemerintahan bahkan memerangi
agama. Dan diketahui pula bahwa akan ikut dalam majelis ini para anggota muslim
dari kalangan ahlus sunnah. Dan banyak dari kalangan ahlus sunnah yang tidak
ingin berpartisipasi di dalam pemilihan umum ini yang mana akan melemahkan
eksistensi mereka, maka apakah hukum memberikan suara dalam pemilihan umum ini,
apakah ia wajib, disenangi (sunnah) ataukah sekedar boleh, dibenci (makruh)
atau bahkan haram?
Dan apa hukumnya seorang wanita untuk ikut dalam pemilihan umum tanpa
mahram dan tanpa jaminan aman dari ikhtilath? Sifat seperti apakah yang harus
dimiliki oleh calon yang boleh kita pilih untuk majelis ini? Berikanlah
keterangan kepada kami dan penjelasan rinci dengan dalil agar menambah
keyakinan kami dengan jawaban yang Anda berikan, semoga Allah menjaga anda.
Jawab:
Alhamdulillah washsholaatu wassalaamu ‘ala roasuulillah wa ‘alaa
aalihi wa shohbihi ajma’in wa ba’du
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
فَاتَّقُوا اللَّهَ
مَا اسْتَطَعْتُمْ
“Bertakwalah kalian kepada Allah dengan segenap kemampuan kalian” (QS
At Taghabun 16).
Dan Allah ‘azza wa jalla berfirman:
وَتَعَاوَنُوا عَلَى
الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ
“Tolong menolonglah kalian dalam kebaikan dan ketakwaan dan janganlah
kalian saling membantu dalam perbuatan dosa dan permusuhan” (QS Al Maaidah 2).
Allah subhanahu wa ta’ala juga berfirman:
يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ تَنْصُرُوا اللَّهَ يَنْصُرْكُمْ وَيُثَبِّتْ
أَقْدَامَكُمْ
“Wahai orang-orang yang beriman, jika kalian menolong Allah maka Allah
akan menolong kalian” (QS Muhammad: 7).
Allah juga berfirman:
يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا أَنْصَارَ اللَّهِ
“Wahai orang-orang yang beriman, jadilah penolong-penolong bagi Allah”
(QS Ash Shaff: 14)
Jawaban atas pertanyaan di atas adalah, hendaknya setiap muslim
mengerjakan apa yang Allah wajibkan atas dirinya: bertakwa, membantu agama
Allah, dan saling membantu dalam mengerjakan amal baik dan ketakwaan dengan
segenap kemampuan yang dia miliki. Dan sudah selayaknyalah dia berbuat kebaikan
dan perbaikan dengan apa yang dia mampu: apakah dia bisa memperbanyak kebaikan,
atau meringankan keburukan yang ada.
Tidak diragukan lagi bahwa peraturan undang-undang yang diletakkan
negara yang menisbatkan kepada Islam sudah tidak lagi mengindahkan apa yang
telah mencocoki dan ditetapkan dalam hukum-hukum syariat, akan tetapi
undang-undang tersebut hanya memperhatikan keuntungan orang-orang yang
menetapkannya atau golongan-golongan yang bersama mereka. Undang-undang
tersebut juga memihak hawa nafsu kebanyakan manusia di negara tersebut atau
negara-negara kafir semacam yahudi atau nasrani dan negara musyrik lainnya yang
memiliki pengaruh terharap negara-negara lain.
Sedangkan ikutnya sebagian kaum muslimin dalam meletakkan peraturan
dan undang-undang ini, tujuannya adalah untuk meringankan keburukan yang
mungkin lebih besar jika tidak ada orang yang ikut dalam peletakan
undang-undang. Maka tidak ikutnya kaum muslimin dalam meletakkan undang-undang
akan memberikan ruang untuk orang-orang munafik, pelaku bid’ah, dan pelanggar
syariat lainnya untuk menguatkan ancaman mereka sehingga tersebarlah ide-ide
dan tindakan mereka yang memerangi islam dan kaum muslimin. Dengan demikian
maka selayaknyalah ada dari kaum muslimin yang ikut dalam peletakan
undang-undang untuk Irak. Dan ikut memilih calon dewan termasuk upaya untuk
mewujudkan tujuan yang jelas: mencegah bahaya yang lebih besar dan mewujudkan
kebaikan dengan kemampuan yang ada. Yang lebih menggembirakan, bahwasanya tidak
terlarang untuk wanita untuk memberikan suaranya sehingga dia bisa memilih
orang yang dikenal ilmu dan agamanya untuk menolong islam dengan keteguhan hati
dan kuatnya hujjah. Karena ikutnya wanita dalam memberikan suara saat ini adalah
kekuatan untuk memenangkan kebenaran dan menguatkannya di atas lawan-lawannya.
Akan tetapi, ini harus dengan memperhatikan adab-adab yang telah digariskan
Islam untuk para wanita, dan memperhatikan rambu-rambu yang tidak boleh
diterobos seperti ikhtilath (bercampur baurnya pria dan wanita) dan
berdesak-desakan dengan pria. Dan boleh bagi wanita untuk ikut serta dalam
memberikan suara bila dia bisa mewakilkan suaranya kepada orang yang valid
untuk memilih.
Dan wajib untuk memilih dengan niat di atas (menolak bahaya yang lebih
besar, ed) orang-orang yang mengingkari thaghut dan beriman kepada Allah dan
memahami firmanNya:
إِنِ الْحُكْمُ
إِلَّا لِلَّهِ
“Sesungguhnya hukum itu hanyalah hak Allah”. (QS. Al An’am: 57)
Wajib atas orang terpilih untuk meluruskan dan memurnikan niat dan
tindakannya hanya karena Allah dan bersungguh-sungguh untuk meringankan bahaya.
Dan hendaknya dia tidak mencari keuntungan dunia atau kemuliaan di mata
manusia. Dan juga wajib atasnya untuk berlepas diri dari semua keputusan batil
yang ditetapkan karena dia tidak mampu untuk mencegahnya. Dan bukanlah termasuk
hal yang bijaksana membiarkan ahlul batil menentukan perkara dan membiarkan
tipu muslihat mereka sedangkan mereka tidak mendapatkan adanya pertentangan
dari para ahlul haq. Bahkan seandainya ada dua orang kafir sebagai calon, yang
satu damai dengan kaum muslimin sedang yang satu sangat keras permusuhannya
terhadap kaum muslimin, maka wajib memilih yang pertama untuk mencegah bahaya
orang kedua. Sebagaimana itu pula kita katakan perihal orang-orang dicalonkan
untuk bertugas membuat peraturan atau undang-undang negara, atau suatu
provinsi. Maka selayaknyalah untuk kaum muslimin untuk berusaha sekuat tenaga
untuk mewujudkan kebaikan dan mencegah kerusakan atau setidaknya meringankannya.
Dan Allah ta’ala-lah yang mengetahui maksud setiap orang. Wallahu a’lam
Ketujuh: Fatwa Syaikh Shalih Al-Luhaydan
Atas jawaban beliau terhadap pertanyaan berikut:
Penanya: “Semoga Allah memberkahi Anda wahai Syaikh dan membalas
kebaikan Anda. Kami di Aljazair akan mengalami hari-hari ini untuk pemilihan
anggota parlemen. Dan kita mengetahuinya secara syariat bahwa hal ini adalah
hal yang asing – tidak terdapat tuntunannya di dalam Islam.”
Syaikh: “Benar, benar. lalu apa permasalahannya?”
Penanya: “Sekarang ada beberapa kelompok yang menyelisihi pemerintah
dan ingin mengambil alih pemerintahan. Jika kami tidak ikut pemilihan umum,
mungkin saja golongan-golongan yang membahayakan dakwah sunnah ini akan naik ke
pemerintahan. Menimbang keadaan seperti ini, bolehkah kami ikut dalam pemilu
bersama pemerintah?”
Syaikh: “Perhatikan, jika ada kelompok yang kalian khawatirkan
andaikan mereka menang mereka akan membahayakan, maka pilihlah lawannya”.
Penanya: “Kelompok yang bersama pemerintah itulah insya Allah yang
memiliki kebaikan”
Syaikh: “Jika nampak mana kelompok yang lebih baik, maka berikan suara
kalian untuknya”
Penanya: “Maksudnya kelompok yang bersama pemerintah, insya Allah?”
Syaikh: “Saya tidak tahu, kalianlah yang harusnya memperhatikan mereka
dalam masalah ini mana kelompok yang lebih baik, maka berikanlah suara kalian
untuk mereka. Cukup”
Kedelapan: Fatwa Syaikh Abdullah Al-Ubailan
Sebagaimana dalam pertanyaan berikut.
Penanya: “Sebentar lagi di negeri kami Aljazair akan dilaksanakan
pemilihan umum. Apakah boleh bagi kami ikut dalam pemilihan umum tersebut
karena kartu pemilih kami menjadi syarat untuk beberapa jenis perjanjian
seperti jual beli kendaraan dan semacamnya. Semoga Allah memberkahi Anda”
Jawab: “Pilihlah siapapun yang kalian yakin bahwa dengan terpilihnya
orang tersebut akan membawa kebaikan untuk kaum mulimin. Ini jika meninggalkan
Pemilu adalah hal yang tidak mungkin anda lakukan. Jika tidak demikian
keadaannya, maka urusan ini adalah kebebasan untuk anda. Wallahu a’lam”
Kesembilan: Fatwa Syaikh Washiullah Abbas
Dalam jawaban atas pertanyaan yang disampaikan kepada beliau pada
tanggal 12/1/2007 berikut ini teksnya:
Pertanyaan dari Amerika: “mengenai hukum ikut pemilu (bukan hukum ikut
mencalonkan diri), yaitu memberikan suara untuk sebagian kandidat, karena
dianggap ada maslahah bagi kaum Muslimin. Namun ini bukan pada Pemilu Federal
(yaitu Pemilu besar), melainkan pada Pemilu regional, yang bisa memberikan
kebaikan berupa diberikannya beberapa bangunan yang tidak terpakai untuk
kemaslahatan kaum Muslimin. Jika kaum Muslimin tidak ikut bersuara, maka suara
akan dikuasai selain mereka, sehingga mereka lah yang mendapatkan maslahah
tersebut. Semoga Allah membalas anda dengan kebaikan wahai Syaikh, andai engkau
memberi nasehat bagi kami dalam perkara ini”.
Syaikh menjawab:
Demi Allah, yang nampak lebih tepat bagi saya insya Allah, jika
dibalik pemberian suara terhadap salah seorang kandidat ini diharapkan adanya
kebaikan, maka kita pilih kandidat tersebut. Walaupun ia kafir, selama ia mau
mengusahakan maslahah kaum Muslimin atau ia dianggap mendukung maslahah kaum
Muslimin. Tidak semestinya seseorang melarang kaum Muslimin memilih dia. Lebih
khusus lagi jika ada syarat-syarat yang disampaikan pemimpin kaum Muslimin
kepada kandidat tersebut. Misalnya, ia mengatakan, “kami pilih anda dengan
syarat anda bersama kami dan memperhatikan urusan-urusan kami dan mendukungnya”.
Dan ini tidak hanya untuk Amerika saja, bahkan untuk semua negara yang kaum
Muslimin minoritas di sana. Terkadang perlu untuk menyerahkan tangan dan
berbuat baik kepada para wakil rakyat semisal tadi dalam perkara ini, sehingga
mereka mau mengerjakan tugasnya sebagai wakil rakyat untuk kemaslahatan kaum
Muslimin.
Apa yang anda paparkan bahwa pertanyaan anda khusus mengenai Pemilu
Regional yang menjadi penentu atau orang yang menang Pemilu bisa menentukan
pemberian sebagian bangunan untuk digunakan menjadi sekolah, maka aku pun sudah
mengetahui hal ini bahkan ini juga ada di India. Dan untuk kasus semisal ini
sudah semestinya kaum Muslimin benar-benar tidak menunda untuk memberikan suara
mereka. Jangan lagi menunda. Saya katakan demikian, karena kaum Muslimin jika
tidak memberikan suaranya, itu tidak membahayakan para kandidat. Dan mereka pun
akan tetap dengan sistemnya non-Muslim juga.
Maka sudah semestinya kaum Muslimin mengulurkan tangan untuk memilih
para kandidat tersebut sehingga mereka memberikan manfaat dengan kecenderugan
mereka dan kecenderungan pendapat mereka untuk menyokong urusan kaum Muslimin.
Dan ini juga bukan karena maslahah kaum Muslimin secara umum insya Allah kami
tidak berpendapat demikian.
Dan para Masyaikh kami di India juga memfatwakan demikian. Bahkan
Syaikh Ibnu Baz rahimahullah, berdasarkan yang kami dengar, beliau memfatwakan
bolehnya ikut serta dalam Pemilu atau semisalnya kepada sebagian ikhwan. Maka
demikianlah insya Allah, kami mengharap kepada Allah, ini dapat mendatangkan
kebaikan bagi kaum Muslimin di setiap negeri. Jika memang perkara ini
mendatangkan kebaikan maka, jangan tunda lagi.
Penanya: “jazaakumullah khayran. Untuk menyempurnakan faidah ini wahai
Syaikh, ada yang mengatakan bahwa ikut serta dalam Pemilu ini berarti ikut
serta mendukung orang yang berhukum dengan selain hukum Allah”.
Syaikh menjawab:
Ini bukan mendukung orang yang berhukum dengan selain hukum Allah,
karena jika kita tidak memberikan suara, para kandidat tersebut pun akan tetap
demikian keadaannya, tanpa diragukan lagi. Maka sama saja, jika kita tidak
peduli dengan mereka sama sekali, atau kita tidak peduli dengan dunia sama
sekali, mereka akan tetap berhukum dengan hukum mereka sendiri. Maka ini bukan
dalam rangka mendukung mereka menegakkan hukum selain hukum Islam. Mereka akan
tetap berhukum dengan hukum tersebut baik kita (kaum Muslimin) memberikan suara
ataupun tidak. Jika demikian, sesungguhnya kita ikut memilih mereka dalam
rangka mewujudkan maslahah Islam dan kaum Muslimin, insya Allah.
Penanya: “jazaakumullah khayran, wahai Syaikh sudah bersedia
menjelaskan panjang lebar kepada kami”.
Syaikh: “jazaakumullah khayran. Saya dengan lapang dada saya
mengatakan pendapat saya tersebut. Dan saya mendengar para masyarikh kami juga
memfatwakan hal yang sama. Lebih khusus dalam kasus yang terkait maslahah kaum
Muslimin. Dan ini juga terjadi di India, sebagian orang mengamalkan demikian.
Sebagian penyembah berhala dan kaum Muslimin masuk ke parlemen untuk mendukung
maslahah dan urusan mereka. Dan terkadang Allah menolong agama ini melalui
sebab orang kafir juga”
Kesepuluh Fatwa Ahlul Ilmi di Markaz Al-Imam Al-Albani
Dari para guru kami yaitu Syaikh Muhammad Musa Alu Nashr, Syaikh Basim
Al Jawabirah, Syaikh Masyhur bin Hasan Alu Salman, Syaikh Ali ibn Hasan Al
Halabi, Syaikh Husain Al Awayisyah, Syaikh Ziyad Al Abadiy, ketika memberi
penjelasan dalam “Fatwa Seputar Pemilu di Iraq yang Akan Berlangsung”. (Berikut
ini teks fatwanya).
Alhamdulillah, washalatu wassalamu ‘ala rasulillah, wa ‘ala aalihi wa
shahbihi wa man walaah, amma ba’du.
Telah banyak pertanyaan yang masuk melalui “Markaz Al Imam Al Albani”
seputar penjelasan hukum syar’i yang berkaitan dengan partisipasi dalam pemilu
di Iraq. Hal ini karena secara khusus adanya keterkaitan dengan Jamaah Anshar
As Sunnah di Iraq (sebuah faksi yang mewakili kelompok Sunni), dan secara umum
yaitu adanya manfaat berupa perbaikan di Iraq dan pemerintahnya. Jawaban atas
pertanyaan tersebut kami katakan, wa billahi taufiq :
Tidaklah samar bagi mereka yang mengamati kondisi di Iraq, tentang
perlunya menolong ummat dari kejahatan musuh, dan bukanlah musibah itu
seluruhnya bersumber dari hal ini (yaitu faktor eksternal saja), sebagaimana
yang mereka kira! Allah Ta’ala berfirman :
وَمَا أَصَابَكُمْ
مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو عَنْ كَثِيرٍ
“Dan apa saja yang menimpa kalian berupa musibah, itu disebabkan
(perbuatan) tangan-tangan kalian sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar
(dari kesalahan-kesalahanmu)” (QS. Asy Syura : 30)
قُلْ هُوَ مِنْ
عِنْدِ أَنْفُسِكُمْ
“Katakanlah (yaitu kepada yang bertanya dari mana musibah berupa
kekalahan perang Uhud itu –pent), ‘Itu adalah dari (kesalahan) dirimu sendiri”
(QS Ali Imran : 165)
Oleh karena itu musibah terbesar yang tidak bisa lepas dari ummat
Islam ini, ialah apa yang telah terjadi di bumi Iraq berupa kerusuhan dan
musibah. Berupa kekuatan asing, dan tolong-menolongnya para pembela kebathilan
terhadap mereka. Markaz Al Imam Al Albani, di tahun ini pula, telah menerbitkan
beberapa fatwa yang mengingkari dan mengharamkan apa yang telah terjadi –dan
sedang terjadi– di Iraq berupa upaya mencegah kekuatan asing, berupa pembunuhan,
pengeboman yang membabi buta, tanpa membedakan apakah korbannya muslim atau
bukan! Anak kecil maupun orang dewasa, kawan maupun lawan, laki-laki maupun
perempuan, semua itu dengan label Islam dan kaum muslimin. Akhirnya melemahkan
posisi Jamaah As Sunnah di Iraq, memecah belah persatuan diantara mereka,
memecah langkah-langkah mereka, dan dalam pemilu yang telah lalu yaitu pada
tahun 2005, menjadi kuatlah golongan-golongan selain mereka (yaitu dari
musuh-musuh Jamaah As Sunnah).
Maka berdasarkan sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, “Janganlah
seorang muslim terperosok ke dalam lubang yang sama dua kali”, juga perkataan
shahabat yang agung Abdullah Ibn Mas’ud, “Orang yang berbahagia ialah orang
yang mendapat nasihat dari orang lain”, kami bertekad untuk mengamati kondisi
yang sedang terjadi saat ini, menghubungkannya dengan pertimbangan maslahat dan
mafsadat, menguatkan salah satunya sesuai pertimbangan dalil syar’i, dan
menerapkannya sesuai realita yang ada, kemudian menjelaskan secara syariat untuk
menegaskan wajibnya berpartisipasi dalam pemilu di Iraq yang akan berlangsung
ini. Dengan sebab kondisi khusus yang tengah terjadi di Iraq, situasi
politiknya, dan harapan bahwa –dengan izin Allah– bendera Jamaah As Sunnah akan
berkibar di Iraq, mempersatukan semua golongan, dan berdampak positif bagi
seluruh negeri.
Semoga Allah merahmati seorang ulama kita yang berkata, “Bukanlah
seorang faqih ia yang mengenali kebaikan dan keburukan. Akan tetapi faqih itu
ialah ia yang mengenali yang terbaik diantara dua kebaikan, dan yang terburuk
di antara dua keburukan”.
Maka kebaikan yang kita lihat bersama saat ini secara langsung, dan
keburukan yang kita juga lihat bersama secara langsung ini, adalah kesungguhan
Jamaah As Sunnah untuk berpartisipasi dalam pemilu yang akan datang, dengan
ikhlas dan jujur, dan akan mempersatukan faksi-faksi yang ada, menampakkan
syiar-syiar Islam kepada musuh-musuhnya, baik secara politik, aqidah, maupun
sejarah yang telah masyhur dan menjadi saksi untuk tidak mengingkari wasiat kami
ini secara umum kepada saudara-saudara kami di Jamaah As Sunnah, dan secara
khusus bagi para penuntut ilmu, para da’i, para imam, para pemberi nasihat dan
kebijakan, dari Ahlus Sunnah, nasihat kami kepada mereka adalah tetap
membersamai dan mengiringi mereka, agar tidak timbul perselihihan politik,
perpecahan antar faksi, dan nasihat dan arahan kami secara umum, untuk memilih
person yang paling banyak maslahatnya bagi urusan dunia dan agama, paling
sedikit mafsadatnya bagi Islam dan kaum muslimin. Semoga Allah memberi taufiq.
Semoga Allah memberikan shalawat, salam, dan memberkahi nabi kita Al
Amin, dan semoga tercurah juga kepada para shiddiqiin, Khulafa Ar Rasyidin,
istri-istri Nabi yang juga ibu bagi kaum beriman, seluruh sahabat Nabi, dan
seluruh manusia. Kami akhiri seruan kami, dan segala puji hanya bagi Allah Rabb
semesta alam.
Lajnah Da’imah di Markaz Imam Al Albani
Selasa, 4 Ramadhan 1429 H
Kesebelas: Fatwa Syaikh Masyhur bin Hasan Alu Salman
Ketika beliau menjawab pertanyaan pada pengajian pagi di hari Sabtu
pagi tanggal 7/2/2009.
Soal:
Apakah boleh berpartisipasi dalam pemilu, dengan maksud menolak bahaya
yang lebih besar, dengan menggunakan sarana yang lebih kecil bahayanya?
Jawab:
Ya boleh, apabila memang ada dampak syar’i di dalamnya. Dan telah aku
sebutkan kepada kalian, kaidah fiqh al manhiyu ‘anhu syar’an laa yu’amilu
muamalat al ma’duumi hissan, kaidah bahwa sesuatu yang diharamkan oleh syariat,
apabila dibenturkan dengan lawannya maka keharamannya tidaklah terpengaruh (catatan
: contoh kaidah ini adalah, hukum lewat di depan orang yang shalat itu haram.
Namun apabila shalatnya ternyata tidak sesuai tata cara yang benar, apakah
lewat di depannya boleh? Jawabnya, tetap haram –pent). Seandainya perkaranya
seperti demikian (yaitu dilihat dari kaidah bahwa pemilu secara syariat adalah
terlarang –pent), maka kaidah irtikaabu akhaff ad dhararain, memilih yang
paling ringan diantara dua keburukan, menjadi tidak berlaku, bahkan tidak ada.
Contohnya, saudara-saudara kita di Iraq –kita berharap kepada Allah
agar menyegerakan kebebasan bagi mereka, memerdekakan negeri mereka,
mengembalikan kemakmuran mereka, dan membersihkan negeri mereka dari bahaya
Syi’ah yang tercela– ketika mereka memboikot pemilu ternyata mereka akhirnya
dikuasai oleh seburuk-buruk makhluk (yaitu Syi’ah), padahal seorang Sunni yang
ahli maksiat lebih baik dari seorang Rafidhi yang hina.”
Syaikh kami Masyhur juga menjawab pertanyaan pada dars di hari Sabtu
tanggal 14/2/2009, dengan pertanyaan : “Apakah hukumnya berpartisipasi dalam
pemilu di Iraq yang akan diadakan untuk memilih anggota parlemen provinsi?”
Jawab :
Ketika kita melalui pemilu yang pertama (pada tahun 2005 –pent) dan
saudara-saudara kita telah memboikot Pemilu tersebut, maka Syi’ah (melihat
pemboikotan tersebut) sangat bergembira. Karena dengan itu mereka bisa
mengendalikan seluruh institusi dan menguasai ahlus sunnah dengan sangat jahat.
Oleh karena itu saya berpendapat bahwa apabila terdapat kebaikan dalam pemilu,
atau (dengan pemilu tersebut) dapat meringankan sebagian keburukan, maka hal
tersebut termasuk dalam kaidah irtikaabu akhaff adh dhararain au mafsadatain,
memilih yang paling ringan diantara dua keburukan atau dua kejelekan. Yaitu
bahwasanya memilih seorang ahlus sunnah meskipun dia fasiq, itu lebih utama
daripada menyerahkan urusan negara pada seorang Syi’ah. Dan sebelum kejadian
ini, saudara-saudara kalian di negeri ini (Yordania) telah berkunjung ke
sebagian saudara-saudara kita di Iraq, dan membahas bersama mengenai perkara
ini hingga mereka pun berlapang dada untuk berpartisipasi dalam pemilu, dalam
rangka meraih kemaslahatan syar’i. Hal ini telah disetujui pula oleh para
cendekiawan yang memahami realita kondisi di Iraq. Maka apabila mereka memang
berada di atas al haq dengan keputusan mereka, maka alhamdulillah. Adapun jika
mereka salah, maka mereka mendapatkan pahala atas ijtihad mereka. Adapun
sebagian saudara kita yang tidak ikut serta dalam Pemilu, mereka itu sibuk
mengajarkan ilmu agama kepada masyarakat, namun mereka mendesak kepada seluruh
ahlussunnah agar hanya memilih kandidat yang ahlussunnah.
Kedua belas: Fatwa Syaikh Ali bin Hasan Al-Halabi
Ketika menjawab pertanyaan berikut ini : “Merujuk pada fatwa sebagian
ulama dan masyaikh yang membolehkan rakyat Iraq untuk masuk dan mencalonkan
diri dalam pemilu di Iraq, apakah Anda berpendapat bahwa fatwa seperti ini akan
membuka pintu bagi para hizbiyyin yang membolehkan mereka masuk dalam parlemen
dan mencalonkan diri dalam pemilu, dengan alasan kaidah ad dharuratu tubihu al
makhdhuuraat (kondisi darurat membolehkan hal-hal yang terlarang) ?
Jawab :
Kondisi di Iraq amatlah rumit dan kompleks. Melihat hasil pemilu yang
telah lalu, kami melihat realita apa yang telah terjadi di sana. Kami merujuk
pada fatwa di Markaz Al Imam Al Albaniy yang membolehkan Pemilu, lengkap dengan
syarat-syarat dan batasan-batasan dalam hal tersebut. Kemudian kami juga
merujuk fatwa dari Syaikh ‘Ubaid Al Jabiri yang juga membolehkan hal tersebut.
Maka aku melihat bahwa perkaranya amatlah pelik, ada banyak maslahat maupun
mafsadat di dalamnya. Masing-masing tidak dominan atas yang lain, dan
masing-masing tidak menutup kemungkinan bagi yang lain (yaitu maslahat dan
mafsadatnya sama berimbang).
Berkata pula Syaikh kami Ali Al Halabi, menjawab pertanyaan pada
channel TV Ar Rahmah di tahun 2009. Pertanyaan : “Pemilu di Iraq wahai Syaikh
Ali, apa pendapat Anda tentang hal ini?”
Jawab :
Pemilu di Iraq, sebenarnya telah kami diskusikan dengan para penuntut
ilmu, juga telah kami diskusikan dalam waktu yang lama dengan sebagian
saudara-saudara kami penuntut ilmu di Iraq. Maka kami berpendapat bahwa
perkaranya terkait dengan maslahat dan mafsadat. Bahwasanya hukum
(undang-undang) akan disusun oleh orang-orang yang menentang dan membantah
Ahlus Sunnah, sebagaimana yang telah terjadi pada Pemilu yang lalu. Inilah
dampak negatifnya. Oleh karena itu kami membolehkan pemilu ini dalam rangka
meraih kemaslahatan. Dan ini bukanlah pendapat pribadi kami, bukan pula
pendapat saudara-saudaraku di Yordania saja –yaitu para masyaikh Yordania–,
akan tetapi ini merupakan hasil diskusi dengan penuntut ilmu yang telah ma’ruf
di Iraq sendiri.”
Ketiga belas: Fatwa Syaikh ‘Ubaid Al Jabiri
Menjawab pertanyaan sebagai berikut.
Soal :
Bismillahi, washalatu wassalamu ‘ala rasulillah, wahai Syaikh kami
yang mulia, di Iraq akan digelar pemilu untuk memilih parlemen provinsi, yang
tidak terkait dengan pemilu politik yang diadakan di akhir tahun ini. Pemilu
ini adalah untuk memilih anggota parlemen yang ikut menentukan permasalahan di
provinsi. Maka jika orang-orang ikut dalam pemilu ini, niscaya tujuan dan
kepentingan mereka akan terjaga di provinsi, seperti : permasalahan
kemanusiaan, perbedaan antar sekte, dan urusan lainnya. Maka apa pendapatmu
apabila kami masuk pemilu, wahai Syaikh yang mulia?
Jawab :
Bismillahi walhamdulillahi washallallaahu wa sallamu ‘ala nabiyyina
muhammadin wa ‘ala aalihi wa shahbihi ajma’in. Aku memohon kepada Allah Al
Karim, Rabb ‘arsy yang agung, agar mempersatukan rakyat Iraq pada umumnya, dan
tokoh-tokoh mereka, di atas hal yang diridhaiNya, baik ridha bagi hamba maupun
negeri, yaitu dengan bersatu di atas Al Islam dan As Sunnah. Dan aku memohon
agar Allah memperbaiki negeri kita dan negeri-negeri Islam lainnya, dari segala
macam hal yang dibenci dan dapat merusak agama, kehormatan, jiwa atau selainnya
yang Allah subhanahu wa ta’ala perintahkan untuk dijaga.
Pemilu merupakan salah satu perkara yang disisipkan ke dalam
masyarakat Islam. Ini bukanlah termasuk dalam syariat Muhammad, akan tetapi
merupakan buatan orang-orang yang terpengaruh dengan ideologi Barat atau
selainnya dari jalan-jalan yang menyimpang dari agama Allah yang haq, baik dari
sisi ushul (pokok) maupun furu’ (cabang). Maka pertama-tama kami sampaikan,
bahwa kami mengingkari hal ini dengan hati kami, dan kami tidak merasa tenang
dengan perkara ini (pemilu). Karena ini adalah bid’ah yang dimasukkan ke
negeri-negeri Islam, oleh sebagian kaum muslimin yang menyimpang dan
terpengaruh dengan kaum selain Islam, maka ia pun ikut-ikutan menerapkannya dan
jadilah (pemilu itu di negeri Islam).
Maka setelah menetapkan hal ini, kami katakan :
Pertama : Pada asalnya, tidak boleh untuk masuk dalam pemilu, kecuali
dalam perkara darurat. Yaitu apabila dengan meninggalkannya akan membahayakan
perkara agama, dunia, atau keduanya.
Kedua : Yang dimaksud dengan kondisi darurat ini diantara bentuknya :
Yakin atau berprasangka kuat bahwa kaum muslimin secara umum dan ahlus
sunnah khususnya, tidak bisa terpenuhi hak-haknya apabila tidak ada perwakilan
baik di parlemen daerah, maupun di parlemen pusat. Maka perlu bagi seorang atau
beberapa orang dari ahlus sunnah untuk menguasai atau minimal masuk di parlemen
daerah, maupun di parlemen pusat, apabila memang ia seorang ahlus sunnah, mampu
berpolitik, dan kita berprasangka kuat bahwa jika ia berkuasa, akan terwujud
kemanfaatan bagi ahlus sunnah khususnya, dan kaum muslimin pada umumnya.
Apabila terlihat bahwa yang berkompetisi dalam pemilu, sama saja
apakah itu pemilu provinsi, pemilu legislatif pusat, atau pemilu presiden,
diikuti oleh dua atau lebih kandidat, misalnya antara pihak Rafidhah dan Sunni,
maka aku menasihatkan kepada ahlus sunnah disana untuk memberikan suaranya
kepada kandidat dari kalangan Sunni. Karena apabila Rafidhah menguasai suatu
negara, akan timbul kerusakan baik bagi rakyat maupun negara. Dan ini akan
menjadi pukulan telak bagi ahlus sunnah, minimal ini akan menjadi jalan bagi
lahirnya tirani dan Syiah akan mengeksploitasi rakyat di negara tersebut.Kondisi
lainnya : Apabila yang berkompetisi dalam pemilu presiden, adalah antara
seorang yang memang kafir, atau seorang muslim yang berideologi dengan ideologi
kufur yang mengeluarkan dari Islam, namun ini muqayyad (terikat dengan syarat)
setelah ditegakkan hujjah kepadanya, (kandidat ini melawan kandidat) seorang
muslim yang tidak nampak darinya melainkan kebaikan dan kebajikan, ia terkenal
dengan akalnya dan baik politiknya. Maka ahlus sunnah di negara tersebut
hendaknya memilih calon yang terbaik ini.
Apabila yang berkompetisi dalam pemilu presiden adalah seorang Sunni
melawan seorang Rafidhi, atau seorang yang berideologi menyimpang, seperti
Syiah, sekuler, Ba’ats, maka hendaklah yang dipilih adalah seorang yang Sunni.
Ringkasannya dalam dua poin berikut:
Pertama : Kami bukanlah sedang menjadi da’i yang mengajak untuk
berpartisipasi dalam pemilu di negara manapun secara mutlak. Bahkan yang lebih
utama menurut kami adalah meninggalkannya, kecuali dalam kondisi darurat yang
mengharuskan ikut di dalamnya, dan telah kami sebutkan bentuk-bentuk kondisi
daruratnya.
Kedua : Bahwasanya apabila ahlus sunnah khususnya, dan kaum muslimin
umumnya, merasa yakin bahwa jika mereka tidak berpartisipasi dalam pemilu, di
negara manapun, maka hak-hak mereka tidak terpenuhi apabila mereka tidak ikut
pemilu. Dalam kasus ini kami berpendapat bahwa mereka harus ikut dalam pemilu.
Dalam rangka merealisasikan maslahat, memenuhi hak-hak mereka, dan memungkinkan
mereka untuk mengambil apa yang memang menjadi hak mereka.
Timbul pertanyaan dari sebagian ikhwan sebagai konsekuensi fatwa ini:
Bahwasanya fatwa kami ini bertentangan dengan nasihat kami sendiri untuk kaum
muslimin secara umum, dan ahlus sunnah khususnya di Iraq, untuk tidak berpecah
belah setelah adanya fitnah!
Maka jawabnya: Kami masih berpegang dengannya, kami memang berfatwa
seperti itu, fatwa kami adalah nasihat bagi putra-putra kami di Iraq agar tidak
berpecah dalam partai-partai dan gerakan-gerakan. Kami tidak menyeru dengan
perkataan kami kepada yang demikian itu (yaitu perpecahan). Imam-imam dari
ahlus sunnah wal jamaah berada di atas jalan tersebut, dan diantara dalilnya
adalah sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam kepada Hudzaifah, dalam hadits
yang panjang, “Maka berpeganglah pada jamaah kaum muslimin dan imam-imam
mereka. Hudzaifah berkata, ‘Jika tidak ada jamaah dan tidak ada pula imam?’.
Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam menjawab, ‘Maka keluarlah dari semua
golongan itu” (HR Al Bukhari). Rincian fatwa ini telah kami terangkan dalam
berbagai majelis, dan juga telah tersebar di sebagian website, siapa yang ingin
membaca silahkan merujuk ke website tersebut.
Adapun fatwa kami dalam masalah pemilu, maka setiap orang yang berakal
dan cerdas akan mampu mengambil apa yang dilempar dan ditujukan kepadanya,
yaitu masalah penjagaan maslahat kaum muslimin secara umum dan ahlus sunnah
secara khusus. Ketika ada kompetisi dalam memperebutkan suatu lembaga, apakah
itu majelis umum, atau selainnya, dan itu diikuti oleh semua golongan, baik
yang mustaqim (yang lurus) maupun dari kalangan munharif (yang menyimpang),
seperti Rafidhah, Syi’ah, Ba’ats. Maka dalam rangka mencegah kerusakan dan
menjauhkan mereka agar menguasai suatu lembaga kemudian melakukan pengrusakan
kepada rakyat dan negara, kami menyerukan kepada ahlus sunnah untuk memberikan
suara kepada kandidat yang menjaga agama, amanah, baik politiknya, atau
memberikan suara kepada kandidat yang mampu memenuhi dan merealisasikan
kemaslahatan, memenuhi hak-hak rakyat, dan mampu mencegah keburukan atas suatu
negeri dan rakyatnya.
Inilah ijtihad kami, kami memohon kepada Allah agar menjaga negeri
Iraq, mengumpulkan tokoh-tokohnya dan rakyat secara umum, kepada apa yang
diridhai Allah kepada hambaNya dan negeriNya, yaitu di atas Al Islam dan As
Sunnah. Shallallaahu ‘ala nabiyyina muhammadin wa ‘ala aalihi wa ashabihi
ajma’in.
Dikeluarkan oleh ‘Ubaid ibn Abdullah ibn Sulaiman Al Jabiri, dosen
Jami’ah Al Islamiyah, ba’da Isya pada hari Senin 29 Muharram 1430 H, bertepatan
dengan tanggal 26 Januari 2008. Wa billahit taufiq.
Keempat belas: Fatwa Syaikh Falih Al-Harbi
(Beliau adalah pengajar di Universitas Islam Madinah selama lebih dari
20 tahun –pent),
Yang berfatwa bolehnya berpartisipasi dalam pemilu legislatif dan
presiden. Fatwa ini dikeluarkan atas pertanyaan tentang hukum memilih partai
penguasa incumbent dengan alasan taat kepada ulil amri dan menghindari
perselisihan. Jawaban atas pertanyaan berikut :
Penanya: “Beberapa hari ke depan akan dilangsungkan pemilu legislatif,
dan ada suatu partai yang mencintai dakwah salafiyah dan tidak menginginkan
dengannya kecuali kebaikan. Dan kami pada asalnya sepakat bahwa (pemilu) adalah
sesuatu yang sama sekali bukan berasal dari Islam. Akan tetapi dalam rangka
darurat, apakah boleh wahai Syaikh, kami memberikan suara untuk partai yang
menguasai pemerintahan karena selama ini telah memberikan jalan bagi dakwah
salafiyah untuk berkembang?
Syaikh: “Tidak, tidak, tidak boleh bagimu memberikan suara. Pertama,
secara sistem ini bukanlah sistem Islam. Kedua, dengan sistem demikian, jika
anda memberikan suara pada partai oposisi maka seolah-olah anda telah
melepaskan ketaatan pada ulil amri. Dan agama tidak membolehkan anda demikian.
Oleh karena itu jika demikian adanya, anda sebetulnya tidak punya pilihan.
Kecuali ada kebebasan untuk tidak memberikan suara. Jika tidak ada di dalamnya
suatu bahaya apabila kalian tidak memberikan suara untuk partai pemerintah yang
sedang aktif memerintah, maka anda bebas. Namun jika ada bahaya di dalamnya
(yaitu dipaksa untuk memilih, pent.), dan jika maksud kalian untuk memilih
adalah memberikan faidah dari partisipasi suara kalian, atau kalian terikat
peraturan untuk wajib memberikan suara, maka berikanlah suara untuk penguasa
incumbent atau untuk partai pemerintah. Jadi anda memberikan suara untuk
penguasa yaitu penguasa incumbent yang anda berada dalam pemerintahannya
sekarang”.
Penanya: “Syaikh, kami ingin menjelaskan kepada anda suatu masalah,
yaitu kami tidak diwajibkan untuk memberikan suara”.
Syaikh: “Terkadang dengan kalian tidak memberikan suara untuk partai
pemerintah justru akan berbahaya bagi pemimpin kalian, berbahaya bagi penguasa
kalian, berbahaya bagi pemerintah kalian. Jika keadaannya demikian, maka
berikanlah suara kepada penguasa incumbent. Jangan bersuara untuk menggulingkan
penguasa atau melepas ketaatan kepada waliyul amri.”
Penanya: “Wahai Syaikh, pemilu yang dimaksud adalah pemilu presiden
atau pemilu legislatif?”
Syaikh: “Termasuk juga pemilu parlemen, karena pemilu parlemen
berkonsekuensi di dalamnya ada anggota-anggota yang menentukan undang-undang
yang berlaku.”
Kelima belas: Fatwa Syaikh Ahmad ibn Yahya An-Najmi rahimahullah
Ketika ditunjukkan kepada beliau ringkasan fatwa Syaikh Falih Al
Harbi, maka beliau menegaskan dan mendukung dengan perkataan, “Menurutku ini
bagus, tidak mengapa, yaitu ‘ala kulli haal selama Allah subhanahu wa ta’ala
memerintahkanmu dengan lisan RasulNya untuk taat pada waliyul amri, dan engkau
bermaksud untuk menaati waliyul amri, maka tidak ada larangan (untuk memberikan
suara dalam pemilu) kepada penguasa incumbent, dengan pertimbangan yaitu dalam
rangka menaati penguasa incumbent, yang mereka memiliki hak untuk didengar dan
ditaati.
Demi Allah, pada hakikatnya bahwa perkataan Syaikh Falih Al Harbi yang
membolehkan hal ini, adalah bukan dalam rangka membolehkan suatu hal yang
memang boleh, akan tetapi membolehkan dalam kondisi terpaksa” [selesai].
Keenam belas : Syaikh ‘Abdullah bin ‘Abdirrahman Al-Jibrin
–rahimahullah-, salah satu ulama besar di Saudi Arabia
Fadhilatusy Syaikh ‘Abdullah bin ‘Abdirrahman Al Jibrin ditanya
mengenai pandangan beliau terhadap keikutsertaan dalam pemilu baladiyah
(semacam pemilu tingkat daerah) dengan mendaftarkan diri, mencalonkan diri dan
memberikan suara.
Jawab: Jika dipandang dari pentingnya pemilu ini dan dampak yang
muncul dengan bagusnya keadaan pemerintahan, serta bisa menentukan berbagai
kebijaksanaan yang urgen dan manfaat bagi negera dan rakyat, maka kami menilai
bahwa penting sekali untuk ikut serta dalam pemilu semacam ini, dan memilih
calon yang terbaik dari sisi kemampuan, wawasan dan kapasitas sehingga dia
dapat betul-betul mengabdi. Diharapkan pula bahwa yang terpilih nantinya adalah
orang yang sholeh, dapat membuat inovasi baru dan membuat kebijakan-kebijakan
yang menjadi sebab baiknya agama rakyat, serta memilih proyek-proyek yang
sesuai dengan kondisi real. Demikian pula akan diangkat para pejabat yang
sholeh dan reformis serta memiliki kapasitas dari kalangan orang-orang yang
benar-benar beriman, mengharapkan kebaikan bagi penguasa dan rakyatnya. Oleh
karena itu, jika yang mencalonkan diri adalah orang yang punya kemampuan,
wawasan dan bagus agamanya sehingga dapat mengangkat bawahan dari kalangan
orang-orang sholeh dan berpengetahuan, maka itulah yang terbaik untuk saat ini
dan di masa yang akan datang. Wallahu a’lam.
Ketujuh belas : Syaikh Musthofa Al ‘Adawi, ulama terkemuka di Mesir,
murid dari Syaikh Muqbil bin Hadi Al Wadi’i, dan terkenal dengan ilmu tafsir
dan haditsnya
Syaikh Musthofa Al ‘Adawi hafizhohullah berkata, “Adapun memberikan
suara dalam pemilu, maka ini kembali pada kaedah ‘memilih mudhorot (bahaya)
yang lebih ringan’. Jika ada calon yang fasik dan ada calon yang sholeh, maka
memberi suara ketika itu dalam rangka memilih bahaya yang lebih ringan
(mengikuti pemilu termasuk mudhorot, tidak memilih calon yang sholeh termasuk
mudhorot, maka ketika itu dipilihlah bahaya yang lebih ringan, pen). Jadi
memberikan suara ketika itu dalam rangka memilih bahaya yang lebih ringan.”
(Diambil dari video: http://www.youtube.com/watch?v=ce7JnGuyB_s)
Kedelapan belas : Syaikh Sholeh Al-Munajjid, ulama Saudi Arabia dan di
antaranya murid Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz, juga menjadi pengelola website Al
Islam Sual wal Jawab (Tanya Jawab Islam)
Dalam fatwa Al-Islam Sual wal Jawab, Syaikh Sholeh Al Munajjid
hafizhohullah berkata, “Masalah memberikan suara dalam Pemilu adalah masalah
yang berbeda-beda tergantung dari waktu, tempat dan keadaan. Masalah ini tidak
bisa dipukul rata untuk setiap keadaan.
Dalam beberapa keadaan tidak dibolehkan memberikan suara seperti
ketika tidak ada pengaruh suara tersebut bagi kemaslahatan kaum muslimin atau
ketika kaum muslimin memberi suara atau tidak, maka sama saja, begitu pula
ketika hampir sama dalam perolehan suara yaitu sama-sama mendukung kesesatan.
Begitu pula memberikan suara bisa jadi dibolehkan karena menimbang adanya
maslahat atau mengecilkan adanya kerusakan seperti ketika calon yang dipilih
kesemuanya non muslim, namun salah satunya lebih sedikit permusuhannya dengan
kaumm muslimin. Atau karena suara kaum muslimin begitu berpengaruh dalam
pemilihan, maka keadaan seperti itu tidaklah masalah dalam pemberian suara.
Ringkasnya, masalah ini adalah masalah ijtihadiyah yang dibangun di
atas kaedah menimbang maslahat dan mafsadat. Sehingga masalah ini sebaiknya
dikembalikan pada para ulama yang lebih berilmu dengan menimbang-menimbang
kaedah tersebut.” (Fatwa Al Islam Sual wal Jawab no. 3062).
Kesembilan belas : Syaikh Rabi’ bin Haadi Al-Madkholi hafizhahullah
Beliau menisbatkan pendapatnya kepada Syaikh Al Albani, Syaikh Shalih
Al Luhaidan dan para ulama selain keduanya. Sesungguhnya mereka di dalam
masalah pemilu parlementer memperbolehkan (jika ada kebutuhan) untuk ikut serta
dengan syarat memilih pemimpin yang lebih baik. Sebagaimana Syaikh Rabi’
mengatakan didalam ceramah berjudul “Munaqasyah Faalih fii Qadhiyati At
Taqliid”:
“Sesungguhnya Falih (Syaikh Falih Al Harbi) telah berfatwa bahwa wajib
bagi umat manusia termasuk Salafiyyun dan ulama Al Azhar bahwa untuk memilih
partai Jabhah At Tahrir (Partai Penguasa) dalam pemilu di Al-Jazair. Dan ulama
Al Azhar menolak mengikuti fatwa ini, dengan sebab diantaranya:
Sesungguhnya ulama Al Azhar memandang mereka tidak perlu taklid kepada
ulama semisal Syaikh Faalih, karena mereka pun (ulama Al Azhar) adalah para
pembawa ilmu. Bahkan mereka terbina diatas manhaj salafush shalih.
Ulama Al Azhar dan saudara-saudara kita dari Salafiyyin memiliki
pandangan yang berbeda dengan Syaikh Faalih namun sepakat dengan pendapat
Syaikh Al Albani dan Syaikh Al Luhaidan dan selain keduanya dari para ulama’
yang berpendapat bahwa ketika ada kebutuhan, boleh memilih pemimpin yang lebih
baik (dalam Pemilu)
”
[selesai]
Saya (‘Ammad Thariq) katakan, bahwa Syaikh Rabi’ hafizhahullah telah
berfatwa kepada penduduk Irak pada tahun 2005 untuk berpartisipasi dalam pemilu
legislatif yang telah ditetapkan pada tahun ini -sebagaimana aku mendengar
sendiri fatwanya dari sebuah kaset dengan telingaku sendiri, dan dengan
persaksian beberapa ikhwah- hanya saja beliau hafizhahullah berkata: “jangan
kalian menisbatkan kepadaku fatwa bolehnya ikut pemilu, akan tetapi
nisbatkanlah kepada Syaikh Al Albani dan ulama AlJazair”.
Kemudian Syaikh kembali lagi ke Irak setelah beberapa pekan dan beliau
mengubah fatwanya (sehubungan dengan perubahan ijtihadnya) maka timbul
perubahan fatwa kepada penduduk Irak yang isinya adalah melarang mereka ikut
serta pemilu.
Pengambilan argumen kami dari sikap Syaikh Rabi’ ini ada dua poin:
Pertama: perkataan beliau hafizhahullah: “ulama Al Azhar dan
saudara-saudara kita dari Salafiyyin memiliki pandangan yang berbeda dengan
Syaikh Faalih namun sepakat dengan pendapat Syaikh Al Albani dan Syaikh Al
Luhaidan dan selain keduanya dari para ulama’ yang berpendapat bahwa ketika ada
kebutuhan, boleh memilih pemimpin yang lebih baik”, merupakan mengabaran bahwa
beberapa ulama zaman ini berpendapat bahwa ketika ada kebutuhan, boleh memilih
pemimpin yang lebih baik. Dan Syaikh hafizhahullah tidak memaparkan celaan
terhadap para ulama yang berpegang pada pendapat ini.
Kedua: sesungguhnya permasalahan fatwa bolehnya berpartisipasi dalam
pemilu parlementer atau melarangnya, adalah masalah yang merupakan turunan dari
ijtihad ulama. Dan para ulama terkadang merajihkan pendapat bolehnya pemilu dan
terkadang merajihkan pendapat yang melarangnya, dan juga terkadang memilih
pendapat wajib, juga terkadang berfatwa kepada penduduk suatu negeri dengan
selain fatwa-fatwa ulama yang lain. Juga terkadang berfatwa kepada penduduk
sebuah negeri dengan fatwa sesuai dengan kondisi yang ada, dan merubah fatwanya
ketika situasi berubah. Atau bisa jadi berubah karena perubahan deskripsi
masalah dari kondisi yang ada. Dan ini semua wajar bagi para ulama ahli
ijtihad.
Ringkasan dari paparan di atas
Sesungguhnya para ulama salafiyyin kontemporer yang mu’tabar hampir
bisa dikatakan menyetujui untuk berpartisipasi dalam permilu parlementer ketika
ada kebutuhan dengan syarat memilih kandidat yang lebih baik.
Semoga bermanfaat.
Diselesaikan pada 13 Sya’ban 1439 Hijriyah/28 April 2018 Masehi.
Assalamu'alaikum. Ahsannya juga disebutkan fatwa2 yang menolak agar lebih berimbang.
ReplyDelete